A. Pengertian
Khulafaur ar-Rasyidin
Menurut bahasa, kata Khulafaur ar-Rasyidiin terdiri dari dua
kata, yaitu: kata khulafa, jama’ dari kata khalifah yang
berarti pengganti. Jadi kata khulafa berarti para pengganti. Dengan kata lain
khulafa adalah orang yang ditunjuk sebagai pengganti atau pemimpin umat Islam.
Sedangkan kata Ar-Rasyidiin sendiri mempunyai arti orang-orang yang arif
dan bijaksana. Dengan demikian Khulafaur ar-Rasyidiin berarti beberapa
khalifah yang arif dan bijaksana dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai
penerus Nabi dalam memimpin umat Islam dengan menegakkan agama Allah dan
menjalankan semua perintah-perintah-Nya.
Istilah khulafa’ ar-Rasyidin berasal dari sebuah
riwayat yang disandarkan pada nabi Muhammad saw. Dalam riwayat tersebut
dikatakan bahwa nabi Muhammad saw. bersabda:
“Umatku
akan terpecah-pecah menjadi 73 golongan, semuanya akan ditempatkan di neraka,
kecuali satu golongan saja. Apa yang satu golongan itu ? Tanya seseorang
sahabat. Nabi saw menjawab; kelompok ahlussunnah wal jama’ah”. Sahabat bertanya
lagi; siapa mereka? Nabi saw. Menjawab; mereka
yang taat pada sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin.”[1]
Di samping hadist tersebut, masih ada sejumlah hadist dari Nabi
SAW. Yang merupakan prediksi dari zamannya. Diantara riwayat tersebut
dijelaskan bahwa Nabi SAW. Bersabda:
“Pemerintahan
dalam bentuk khulafah (sesudahku) akan berlangsung selama 30 tahun; setelah itu
akan menjadi kerajaan”
Jalal al-Din as-suyuthi mengutip pendapat ulama’ yang
menjelaskan hadist tersebut dengan berkata:
“
Tiga puluh tahun sesudah nabi saw. Wafat adalah pemerintahan khalifah yang
empat dan beberapa hari pemerintahan Hasan”[2].
Imam al-Bazzar meriwayatkan dari Abu Ubaidilah ibn al-Jarrah
yang menyatakan bahwa nabi saw. Bersabda:
“Sesungguhnya
fase awal agama kalian dimulai dengan fase kenabian dan rahmah, setelah itu
fase khilafah dan rahmah, tetapi kemudian menjadi kerajaan yang penuh dengan
pemaksaan.”[3]
Dalam tiga
hadist tersebut terdapat dua term mengenai kepemimpinan setelah Nabi. Pertama, al-khulafa’
ar-rasyidin; dan kedua, al-khilafat. Akan tetapi, dalam sejarah pada
umunya tidak terdapat penafsiran tunggal yang dimonopoli oleh ulama’ atau
aliran tertentu. Jalal al-Din telah
menangkap salah satu penafsiran mengenai cakupan khilafat atau khulafa’
ar-rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali ibn Abi Thalib. Ini adalah
pendapat umum yang cenderung diterima umat islam secara umum.
Terdapat
sejumlah riwayat yang berbeda dengan pendapat umum tersebut. Pertama, dalam
sebagian riwayat dinyatakan bahwa yang termasuk khulafa’ ar-rasyidin adalah
lima, yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Abdul Aziz.
Hal ini sejalan dengan perkataan Sufyan Ats-Tsauri:“Pemerintah khalifah itu
lima: Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali ibn Abi Thalib dan Umar ibn Abdul Aziz”
Masih banyak lagi riwayat yang berbeda yang menjelaskan bahwa al-khulafa’
ar-rasyidin itu ada lima dengan term yang berbeda-beda tetapi maknanya sama.
Misalnya menggunakan term a’immat al-adl (para imam yang adil) a’immat
al-huda (para pemimpin yang mendapatkan petunjuk).
Kedua, dalam
sebagian riwayat dinyatakan bahwa
al-khulafa’ ar-rasyidin itu bukan lima dan juga bukan pula empat, tetapi tiga.
Riwayat tersebut adalah:
“Syuhail ibn Abbas menceritakan kepadaku yang
bersumber dari ibn Ishaq, Ibrahim bin Uqbah, Atha’ maula ummu Bakr al-Asalmiyah,
dan Habib ibn Hind al-Islami berkata: “Sa’id ibn al-Musayyab berkata kepadaku
ketika aku dan dia sedang di Arafah. Sesungguhnya khalifah itu ada tiga “ Aku bertanya:
siapakah mereka? Ia menjawab : Abu Bakar, Umar, dan Umar (yakni Umar ibn Abdul
Aziz) aku bertanya lagi: “Abu Bakr dan Umar aku sudah mengenalnya, tetapi Umar yang
satu itu siapa? Ia menjawab “ bila engkau masih hidup, engkau akan
mendapatkannya dan mengenalnya, tapi apabila engkau mati sekarang, ia akan ada
setelahmu”
Riwayat-riwayat
diatas menunjukkan bahwa secara tekhnis , al-khulafa’ ar-rasyidin mungkin
berasal dari Nabi saw, meskipun periwayatannya cenderung dengan makna, tidak
dengan lafadznya. Akan tetapi cakupan yang dikandungnya adalah ijtihad ulama’
bukan berdasarkan riwayat Nabi saw. Oleh karena itu, Ibnu al-Musayyab
berpendapat bahwa khalifah yang rasyidin itu hanya tiga, yaitu Abu bakar, Umar
ibn Khaththab, dan Umar ibn Abdul Aziz. Jalal al-Din as-suyuthi dan ulama’ pada
umumnya berpendapat bahwa al-khulafa’ ar-rasyidin itu empat yaitu; Abu bakar,
Umar ibn khatab, Ustman bin affan dan Ali ibn abi thalib ,sedang Sufyan ats
sauri berpendapat bahwa al-khulafa’ ar-rasyidin itu lima : Abu bakar, Umar ibn
khatab, Ustman bin affan , Ali ibn abi thalib dan Umar ibn abdul aziz. Namun
dalam makalah ini pemakalah mengambil pendapat yang umumnya dikemukakan oleh
para ulama’ yakni al-Khulafa’ ar-Rasyidin terdiri dari empat orang.
Daulat
al-khulafa’ ar-rasyidin yang berkedudukan di Madinah berkuasa hanya 30 tahun menurut kalender Hijriyah ataupun
29 tahun menurut kalender Masehi (11-41 H/632-661 M). Meskipun pemerintahan
yang teramat singkat bukan berarti tidak memiliki pengaruh kepada kelanjutan
agama islam. Sejarah mencatat masa al-khulafa’ ar-rasyidin masa yang sangat
menetukan sekali bagi kelanjutan agama islam dan bagi perkembangan kekuatan
agama islam.
Daulat ini
bermakna dinasti, yakni kebijaksanaannya para penguasa adalah yang tertinggi
namun di dalam daulat al-khulafa’ ar-rasyidin para pejabat kekuasaan tertinggi dipilih
dan diangkat berdasarkan permufakatan dan persetujuan masyarakat islam dewasa
itu. Dan garis kebijaksanaan yang dijalankan dapat dikatakan bersamaan.
- Kepemimpinan
Khulafa’ ar-Rasyidin
1. Abu Bakar as-Shiddiq (632-634 M)
a. Biografi Abu Bakar as-Shiddiq
Nama Abu Bakar
as-Shiddiq sebenarnya adalah Abdullah ibn Utsman ibn Amir ibn Ka’ab ibn Sa’ad
ibn Taim ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ai ibn Ghalib ibn Fihr al-Qurasy at-Taimi.
Nasabnya bertemu dengan nabi Muhammad pada kakeknya Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ai.
Ayahnya diberi kunyah Abu Quhafah[4].
Beliau adalah salah satu tokoh yang
pertama kali masuk islam (as-Sabiqun al-Awwalun) dari golongan pria
dewasa. Gelar Abu Bakar sendiri didapat karena beliau adalah orang yang pertama
kali masuk islam. Adapun gelar as-Shiddiq didapatkan karena beliau adalah orang
pertama dan satu-satunya yang membenarkan peristiwa Isra’ & Mi’raj Nabi
Muhammad pada waktu itu.
b. Wafatnya Nabi dan Pengangkatan Abu Bakar Menjadi
Khalifah
Berita
meninggalnya nabi Muhammad beredar cepat ke seluruh Madinah. Bagi banyak orang,
rasanya tidak bisa dipahami bahwa Rasulullah meninggal dunia. Umar, misalnya,
tidak mau memercayainya. Ia juga begitu bingung hingga segera saja pergi ke
masjid, tempat umat telah berkumpul dan karena beritan duka itu dan mengancam akan memukul siapapun yang
berani mengatakan bahwa Muhammad meninggal dunia[5].
Tugas Abu
Bakarlah untuk menenangkan situasi. Sesudah melihat jenazah Muhammad dengan
mata kepalanya sendiri, ia juga pergi ke masjid. Di sana ia menyaksikan Umar
mengelantur tak karuan tentang Muhammad bahwa beliau masih hidup. Ia hanya
tampak mati saja, Umar berteriak, “Ia hanya sedang diangkat ke langit, seperti
Musa. Ia akan kembali tidak lama lagi.”
“Tenang, Umar”
kata Abu Bakar, melangkah ke bagian depan masjid. “Tenanglah!” Tetapi, Umar
tidak bisa diam. Dengan suara keras ia mengingatkan mereka yang menerima
kematian Muhammad bahwa mereka akan terpotong tangan dan kakinya lantaran tidak
setia ketika Nabi kembali dari langit.
Akhirnya, Abu
Bakar tidak sabar lagi. Ia mengangkat tangannya di depan jamaah dan meneriaki
Umar, “Wahai manusia, jika kalian menyembah Muhammad, Muhammad telah mati. Jika
kalian menyembah Allah, Allah hidup dan abadi!”. Ketika Umar mendengar
kata-kata ini, ia jatuh ke lantai dan
menangis[6].
Nabi Muhammad
tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai
pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Nabi tidak membuat pernyataan
formal tentang siapa yang akan menggantikannya sebagai pemimpin umat Tampaknya
beliau menyerahkan persoalan teresebut kepada kaum muslimin sendiri untuk
menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat, belum lagi
jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajiirin dan Anshar berkumpul di
balaikota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarakan siapa yang akan dipilih
menjadi pemimpin. Musyawarah itu terjadi cukup alot karena masing-masing pihak,
baik Muhajirin maupun Anshar sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Ada tiga golongan yang
bersaingan keras dalam musyawarah tersebut: Anshar, Muhajirin dan Bani Hasyim.
Kaum Anshar mencalonkan
Sa’ad ibn Ubadah, sedang Muhajirin mendesak
Abu Bakar sebagai calon mereka karena ia dipandang paling layak menggantikan
nabi. Dan di pihak lain terdapat kelompok orang yang menghendaki Ali ibn Abi
Thalib. Situasi yang kritis ini hampir saja menyebabkan pertikaian di tubuh
umat islam, namun berkat tindakan tegas dari tiga orang yaitu; Abu Bakar, Umar
dan Abu Ubadah ibn Jarrah memaksa Abu Bakar sendiri sebagai pengganti nabi
Muhammad saw. Dan dengan ukhuwah islamiah yang tinggi , akhirnya Abu Bakar
terpilih.[7]
Selepas
dibai’at, Abu Bakar berpidato di hadapan kaum muslimin. Isi pidatonya adalah :
“Wahai saudara-saudara sekalian, sesungguhnya aku
adalah seperti kalian juga dan aku tidak sanggup memikul beban yang kalian
letakkan di pundakku sebagaimana Rasulullah mampu memikulnya. Aku bukanlah yang
terbaik di antara kalian. Jika aku melakukan kebaikan, maka dukunglah aku. Jika
aku melakukan kesalahan, ingatkan aku. Sepanjang aku menaati Allah dan Nabi,
taatilah aku. Jika aku menolak hukum Allah dan Nabi, aku tak punya hak atas
ketaatan dari kalian[8].
c.
Kepemimpinan
Abu Bakar
Khalifah
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M beliau meninggal
dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri,
terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau
tunduk lagi kepada pemerintah Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian
dengan Nabi Muhammad batal dengan sendirinya setelah nabi wafat. Karena itu,
mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka
membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini
dengan apa yang disebut perang Riddah[9].
Perang Riddah mencerminkan usaha sadar Abu Bakar untuk memelihara
kesatuan orang-orang islam Arab di bawah bendera abadi Islam dan otoritas
terpusat Madinah dan dengan begitu mencegah komunitas Muhammad dari mundur lagi
ke sistem kesukuan kuno. Tetapi ini tidak harus disalahkan sebagai perang
agama, kampanye itu dimaksudkan untuk memperkuat kembali kepentingan politik
Madinah[10].
Tampaknya
kekuasaan yang yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar sebagaimana pada
masa Rasulullah bersifat sentral. Kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif
berpusat di tangan khalifah. Selain roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan
hukum. Meskipun demikian, seperti juga nabi Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak
sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah[11].
Selain
memerangi kaum murtad, beliau juga sempat memerangi orang-orang yang enggan
membayar zakat dan nabi palsu. Beliau juga sempat melakukan ekspansi dengan
menaklukan Persia di wilayah timur dan melakukan penyerangan ke Romawi di
wilayah barat sehingga mampu menunjukkan kekuatan kaum muslimin.
Salah satu kerja besar dan merupakan
peninggalan bersejarah masa pemerintahan khalifah Abu Bakar adalah penghimpunan
dan kodifikasi al-Quran. Melihat banyaknya sahabat huffazh yang gugur
dalam perang Yamamah mendorong Umar untuk mengusulkan penghimpunan al-Quran ini
pada khalifah Abu Bakar. Hal ini demi menjaga kelestarian al-Quran karena
dikhawatirkan al-Quran akan hilang seiring gugurnya para sahabat di medan
perang. Meskipun pada awalnya sempat ragu karena pembukuan al-Quran tidak ada
dan tidak diperintahkan pada zaman Nabi dan tidak mau disamakan dengan kaum
yang kitabnya hanya di tulisan saja, pada akhirnya proyek pembukuan al-Quran
ini untuk pertama kalinya terealisasi pada masa khalifah Abu Bakar.
d.
Berakhirnya
Masa Kekhalifahan Abu Bakar as-Shiddiq
Tatkala
Abu Bakar merasa bahwa kematiannya telah dekat dan sakitnya semakin parah, dia
ingin memberikan kekhalifahannya kepada seseorang sehingga diharapkan
orang-orang tidak terlibat konflik. Sewaktu masih terbaring sakit, Abu Bakar
secara diam-diam melakukan tinjauan terhadap tokoh-tokoh terkemuka dikalangan sahabat
mengenai pribadi yang layak untuk menggantikannya.
Khalifah Abu Bakar meninggal pada hari
Senin, 23 Agustus 624 M setelah kurang lebih 15 hari berbaring di tempat tidur.
Beliau wafat pada usia 63 tahun dan kekhalifahannya berlangsung selama 2 tahun
3 bulan 11 hari[12]. Dengan
wafatnya Abu Bakar, maka berakhirlah masa kepemimpinannya. Kepemimpinan
selanjutnya beralih pada tokoh yang ditunjuk olehnya untuk meneruskan
kekhalifahan.
2.
Umar
ibn Khaththab (634-644 M)
a. Biografi Umar ibn Khaththab
Beliau
adalah Umar ibn al-Khaththab ibn Nufail ibn Adi ibn Abdul Uzza ibn Riyah ibn
Abdullah ibn Qurth ibn Razah ibn Adi ibn Ka’ab ibn Lu’ai, Abu Hafs al-Adawi[13].
Umar masuk islam ketika berusia dua
puluh tujuh tahun. Beliau masuk islam karena tersentuh hatinya tatkala
mendengar lantunan ayat al-Quran yang dibaca oleh adiknya. Masuknya Umar ke
dalam agama islam ini adalah bentuk dari terkabulnya doa nabi yang menginginkan
kekuatan islam dengan masuknya Umar.
b. Pengangkatan Umar ibn Khaththab sebagai Khalifah
Tatkala
Abu Bakar merasa bahwa kematiannya telah dekat dan sakitnya semakin parah, dia
ingin memberikan kekhalifahannya kepada seseorang sehingga diharapkan
orang-orang tidak terlibat konflik[14].
Saat itu timbul kecemasan apabila ia tidak menunjuk orang yang akan
menggantikan jabatannya. Profil yang akan mengantikannya hendaknya orang yang
tegas tetapi tidak kejam, ramah tetapi tidak lemah. Menurut pandangan Abu Bakar
orang seperti itulah yang mampu memelihara persatuan umat islam dan membendung
ancaman dari luar[15].
Menurut
pandangan Abu Bakar orang yang memiliki kriteria seperti itu adalah Umar ibn
Khaththab dan Ali ibn Abi Thalib. Tetapi Abu Bakar cenderung memilih Umar ibn
Khaththab. Alasannya, mungkin sekali, di samping pandangannya tersebut, Umar
adalah sahabat yang terdekat dengannya selama menduduki jabatan khalifah dan
ikut andil dalam pengangkatannya menjadi khalifah pada peristiwa Saqifah Bani
Sa’idah[16].
Alasan
lain seperti yang diungkapkan oleh Reza Aslan adalah karena Abu Bakar menolak
tradisi kesukuan dan bahwa apabila mempertahankan kepemimpinan bedasarkan
keturunan dalam ahlul bait bisa
mengaburkan pembedaan antara otoritas religius Nabi dan otoritas religius
Khalifah[17].
Tetapi
Abu Bakar tidak bertindak otoriter. Sekali lagi, beliau mempertahankan
saran-saran dan pendapat dari tokoh-tokoh sahabat lain, baik dari kalngan
Muhajirin maupun Anshar. Sebelum mengambil keputusan, Abu Bakar meminta
pendapat Abdurahman ibn Auf, Utsman ibn Affan, Said ibn Zaid dan lain-lain.
Dari hasil pengumpulan pendapat itu diketahui bahwa pada umumnya tokoh-tokoh sahabat
menyetujui penunjukan Umar ibn Khaththab sebagai calon pengganti khalifah Abu
Bakar. Oleh karena itu Abu Bakar secara resmi membuat surat pengangkatan Umar
ibn Khaththab sebagai orang yang akan menduduki jabatan khalifah apabila Abu
Bakar wafat.
Di
antara isi surat pengangkatan tersebut berbunyi [18]:
“Dengan nama Allah yang Mahapengasih dan Penyayang.
Ini pernyataan Abu Bakar ibn Quhafah pada akhir hayatnya di dunia yang akan
ditinggalkan dan awal masanya ke akhirat yang akan ditujunya. Sesungguhnya saya
telah mengangkat Umar ibn Khaththab menjadi khalifah untukmu. Apabila ia
berlaku adil, maka itulah alasan saya dan harapan saya padanya. Tetapi bila ia
berubah dan beralih sikap, maka yang saya kehendaki hanyalah kebaikan dan saya
tidak mengetahui sesuatu yang belum terjadi.”
Beberapa
lama setelah penunjukan tersebut, Abu Bakar wafat dan dan Umar ibn Khaththab
langsung menjadi khalifah. Pada waktu itu usia Umar sekitar 52 tahun.
c. Kepemimpinan Umar ibn Khaththab
Di
zaman Umar gelombang ekspansi pertama terjadi. Ibu kota Syiria, Damaskus, jatuh
pada tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Byzantium kalah di
pertempuran Yarmuk, seluruh Syiria jatuh di bawah kekuasaan Islam. Dengan
memakai Syiria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan
Amr ibn Ash dan ke Iraq di bawah pimpinan Sa’ad ibn Abi Waqqash. Iskandaria,
ibu kota mesir ditaklukan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh di bawah
kekuasaan islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat dekat Hirah di Iraq, jatuh
pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain
yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Mosul dapat dikuasai. Dengan
demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan islamsudah meliputi
Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, sebagian besar Persia dan Mesir[19].
Karena
perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara
dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia.
Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi : Makkah,
Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir. Beberapa
Departemen yang dipandang perlu didirikan. Pengadilan didirikan untuk
memisahkan lembaga eksekutif dan yudikatif, mendirikan Baitul Mal, mencetak
mata uang dan menggagas tahun Hijriyyah.
Ada
beberapa tidakan progressif yang dilakukan Umar, diantaranya Umar pernah tidak
membagikan harta rampasan perang yang 4/5 kepada para prajurit yang ikut
berperang pada saat penaklukan Syiria dan Iraq, tetapi diganti dengan menggaji
mereka. Alasan beliau dapat dipahami dari pernyataannya [20]:
“Demi Allah
tidak akan ada lagi negeri yang dibebaskan sesudahku yang di situ terdapat
kekayaan besar, bahkan akan menjadi bebas atas orang-orang muslim. Jika aku
bagi-bagikan tanah-tanah di Iraq beserta garapannya, tanah-tanah Syiria beserta
garapannya, maka dengan apa pos-pos pertahanan akan dibiayai? Dan apa yang akan
tersisa untuk anak cucu dan janda-janda di negeri itu dan di tempat lain di
kalangan penduduk negeri Syiria dan Iraq?”
Dengan tindakan
ini Umar telah berusaha menyelamatkan kekayaan negara untuk kepentingan negara dan sekaligus untuk
kepentingan islam dan umatnya yang akan terus meneruskan perjuangan islam yang
telah dibina selama ini.
Dalam kasus lain, Umar pernah tidak
melaksanakan hukuman potong tangan di saat masyarakat Islam sedang mengalami
musibah kekeringan, kekurangan persediaan makanan dan bahaya kelaparan.
Demikian beberapa hal yang bisa diulas dalam kepemimpinan Umar.
d. Berakhirnya Masa Kekhalifahan Umar ibn Khaththab
Khalifah Umar telah memerintah selama 10
tahun 6 bulan (13-13 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematiannya
yang tragis, yaitu seorang budak Persia bernama Fairuz atau yang dikenal dengan
Abu Lu’luah secar tiba-tiba menyerang dari belakang, ketika Umar hendak
berjamaah shalat subuh di Masjid Nabawi. Umar meninggal pada tanggal 25
Dzulhijjah 23 H[21]. Dengan
demikian, berakhir sudah masa pemerintahannya. Kepemimpinan selanjutnya
dipegang oleh orang yang terpilih dari beberapa tokoh yang ditunjuk untuk
menjadi calon penggantinya.
3.
Utsman
ibn Affan (644-656 M)
a. Biografi Utsman ibn Affan
Nama
beliau adalah Utsman ibn Affan ibn Abil Ash ibn Umayyah ibn Abdusy Syams ibn
Abdi Manaf ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ai ibn Ghalib ibn
Fihr ibn Malik ibn an-Nadhir ibn Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah ibn
Ilyasibn Mudhar ibn Nizar ibn Ma’ad ibn Adnan. Utsman ibn Affan masuk islam
melalui dakwah Abu Bakar as-Shiddiq[22].
Beliau dikenal sebagai pedagang yang dermawan dan murah hati. Beliau adalah
orang terkaya pada masa sebelum dan sesudah islam. Beliau merupakan donatur
bagi setiap perjuangan islam.
b. Pengangkatan Utsman ibn Affan sebagai Khaliafah
Di
ranjang kematiannya, Umar mengumpulkan enam kandidat utama bagi Khalifah dan
memberi mereka tiga hari untuk memutuskan di antara mereka siapa yang akan
memimpin umat stelah kematiannya. Mereka adalah Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi
Thalib, Zubair ibn Awwam, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn Auf, Thalhah
ibn Ubaidillah. Tak lama kemudian hanya tersisa dua buah nama, Ali ibn Abi
Thalib dan seseorang yang biasa-biasa saja berusia 70 tahun bernama Utsman ibn
Affan[23].
Sebagai
anggota kaya klan Umayyah – klan musuh kuat Muhammad, Abu Sufyan dan Hindun –
Utsman adalah orang Quraysh tulen. Walaupun dia termasuk golongan as-sabiqun
al-awwalun, ia tidak pernah menunjukkan kualitas kepemimpinan apapun, ia
seorang pedagang, bukan tentara. Muhammad mencintai Utsman tetapi tidak pernah
mempercayakan kepadanya untuk memimpin pembersihan atau pasukan tentara,
sesuatru yang hampir pernah dilakuakan lebih dari sekali oleh setiap salah satu
calon lain. Namun persisnya tidak adanya pengalaman dan tidak adanya ambisi
pada dirinyalah yang menjadikan Utsman sebagai pilihan menarik. Ia, lebih dari
semua yang lain adalah alternatif terbaik bagi Ali, orang tua yang bijaksana
dan bisa dipercaya tidak akan merusak situasi.
Akhirnya,
Ali dan Utsman disodori masing-masing dua pertanyaan oleh Abdurrahman. Pertama,
apakah masing-masing akan memimpin sesuai dengan prinsip-prinsip al-Quran dan
teladan Rasulullah? Keduanya menjawab, Ya!. Pertanyaan kedua sungguh tak
terduga. Apakah masing-masing, jika terpilih sebagi khalifah akan mengikuti
perseden yang telah dilakukan oleh dua khalifah sebelumnya, Abu Bakar dan Umar?
Pertanyaan
ini bukan hanya persyaratan yang belum pernah ada sebelumnya untuk memimpin
umat, melainkan juga jelas-jelas dimaksudkan untuk menyingkirkan seorang
kandidat. Karena ketika Utsman menegaskan bahwa ia akan mengikuti semua teladan
para pendahulunya dalam semua keputusannya sebagi khalifah, Ali memberikan
tatapan mata tajam kepada semua orang yang ada di ruangan itu dan menjawab
dengan tegas, “Tidak!”. Ia hanya akan mengikuti Allah dan
keputusan-keputusannya sendiri.
Jawaban Ali mengunci ketukan palu
keputusan. Utsman menjadi khalifah ketiga, dan pada tahun 644 M sangat didukung
oleh umat[24].
c. Pemerintahan Utsman ibn Affan
Pemerintahan
Utsman berlangsung selama 12 tahun. Pada paroh terakhir masa kekhalifahannya,
muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat islam terhadapnya.
Kepemimpinan Utsman berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena
usianya yang lanjut, diangkat pada usia 70 tahun[25].
Salah
satu faktor yang menyebabkan rakyat kecewa terhadap kepemimpinannya adalah
kebijaksanaannya mengangkat keluarganya dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting
diantaranya Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan
pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang gelar khalifah. Setelah banyak
anggota keluarganya duduk dalam jabatan-jabatan penting, Utsman laksana boneka
di hadapan kerabatnya itu.dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan.
Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya sendiri dibagikan tanpa kontrol oleh
Utsman sendiri.
Meskipun
demikan, tidak berarti bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan penting.
Utsman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir besar dan mengatur
pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan,
masjid-masjid, dan memperluas Masjid Nabawi di Madinah. Beliau jugalah yang
mencetuskan unifikasi al-Quran dengan menyalinnya menjadi sebuah mushaf yang
sampai sekarang dikenal dengan Mushaf Utsmani[26].
Di
masa pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes dan bagian yang
tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi
islam pertama berhenti sampai di sini.
d. Terjadinya Fitnah dan Terbunuhnya Utsman
Tindakan
Utsman yang dipandang nepotis tampaknya menimbulkan ketidakpuasan oelh sebagian
kelompok muslim. Agitasi terhadap Utsman mencapai puncaknya pada tahun 655 M
dengan pemberontakan yang pecah di seluruh kawasan muslim menentang
ketidakmampuan khalifah dan para amir yang sering korup. Situasi menjadi begitu
menakutkan ketika sejumlah sahabat terkemuka dari Mekah berkumpul untuk meminta
khalifah supaya mencopot para gubernurya yang korup, menghentikan nepotismenya
dan meminta maaf kepada semua komunitas. Tetapi, anggota klannya sendiri dan
khususnya sepupunya yang berpengaruh dan lapar kekuasaan yaitu Marwan, menekan
Utsman untuk tidak tampak lemah dengan mengakkui kesalahan sendiri.
Segala
sesuatunya tiba pada ujung menyedihkan bagi Utsman, setahun kemudian, ketika
delegasi besar-besaran dari Mesir, Basrah dan Kufah berbondong-bondong menuju
Madinah untuk menyampaikan kekecewaannya langsung kepada khalifah. Walaupun
menolak untuk menerima delegasi itu secara pribadi, Utsman mengirim Ali untuk
meminta mereka kembali ke rumah mereka dengan janji kekecewaan mereka akan
diperhatikan.
Apa
yang terjaid selanjutnya tidaklah jelas. Sumber-sumber campur aduk dan
bertentangan. Agaknya, dalam perjalanan pulang mereka, delegasi Mesir menangkap
seorang utusan yang membawa surat resmi yang memerintahkan hukuman segera
kepada para pimpinan pemeberontakana atas pembangkangan mereka. Surat itu
ditandatangani oleh Khalifah. Geram, delegasi itu memutar arah dan kembali ke
Madinah, mereka mengepung rumah Utsman.
Para
pemberontak terprovokasi oleh keributan di luar rumah Utsman, menyerang ruang
dalam Khalifah, tempat mereka menemukannnya duduk di atas bantal sedang membaca
al-Quran. Mereka sekali lagi mendesak Utsman untuk mengundurkan diri. Ketika
Utsman menolak, maka salah satu dari mereka mengangkat pedang dan menebaskannya
ke dada Utsman, dan saat itu juga Utsman gugur di atas a-Qurannya yang masih
terbuka dan darahna mengalir membasahi al-Quran tersebut[27].
Belum jelas siapa yang membunuh Utsman.
Ahli sejarah juga yakin bahwa Utsman tidaklah menulis surat tersebut. Utsman
gugur pada hari Jumat tanggal 17 Dzulhijjah 35 H/ 655 M[28].
Dengan demikian, berakhirlah masa kekhalifahan Utsman ibn Affan.
4. Ali ibn Abi Thalib (656-661 M)
a. Biografi Ali ibn Abi Thalib
Nama
lengkap beliau adalah Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muththalib ibn Hasyim ibn
Abdi Manaf ibn Qushayi ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ai ibn Ghalib ibn
Fihr ibn Malik ibn an-Nadhir ibn Kinanah[29].
Beliau adalah sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW.
Ali
ibn Abi Thalib masuk islam saat beliau berumur tujuh tahun, ada yang mengatakan
delapan tahun dan ada pula yang mengatakan sepuluh tahun. Tetapi yang jelas,
beliau adalah orang yang pertma kali masuk islam dari golongan anak-anak. Saat
Rasulullah akan hijrah, beliaulah yang menggantikan posisi Rasulullah di tempat
tidur untuk mengelabui kaum kuffar.
Beliau adalah orang yang mentajhiz
(mengurus) jenazah nabi Muhammad SAW, di saat umat islam yang lain sedang
bermusyawarah menentukan pemimpin pengganti nabi.
b. Pengangkatan Ali sebagai Khalifah
Setelah
Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai
Khalifah. Para sahabat mendesaknya agar bisa keluar dari kemelut yang menimpa
mereka. Kondisi saat itu telah mengalami kekacauan dan orang-orang pemberontak
telah menguasai kondisi lapangan. Walaupun pada awalnya menolak, akhirnya,
beliau mau menerimanya, setelah Zubair ibn Awwam dan Thalhah ibn Ubaidillah
memaksa beliau dan membaiatnya[30].
c. Kepemimpinan
Ali ibn Abi Thalib
Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa
pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun
dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan
khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa
pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik
kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil
pendapatannya kepada negara, dan memakai sistem distribusi pajak tahunan di
antara orang-orang islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak
lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair
dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman dan
mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara
dzalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat
kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan
perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran
berkobar.perang ini dinamakan perang Jamal (unta) karena Aisyah menggunakan
unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika
hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan
dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan perlawanan dari
gubernur Damaskus, Muawiyah, yang didukung sejumlah bekas pejabat tinggi yang
merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memedamkan
pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju
Damaskus dengan sejumlah besar pasukan tentara. Pertempuran ini dinamakan
pertempuran Shiffin, karena pasukan Ali dan Muawiyah bertemu di Shiffin.
Perang
ini berakhir dengan tahkim (arbitrase), saat pasukan Muawiyah terdesak,
mereka melakukan tindakan mengangkat mushaf al-Quran sebagai tanda perdamaian.
Ali menerima permintaan damai ini. Tetapi tahkim ini ternyata tidak
menyelesaikan masalah, tetapi bahkan memunculkan golongan yang tidak puas
dengan tindakan Ali yaitu Khawarij. Akibatnya umat islam terpecahmenjadi tiga
kekuatan politik yaitu Syiah Muawiyah, Syiah Ali dan Khawarij. Kemunculan kaum
Khawarij menyebabkan tentara Ali melemah sementara poisisi Muawiyah semakin
kuat.
Pada
puncaknya, Ali terbunuh pada saat dia aka melaksanakan shalat subuh. Ali
dibunuh oleh salah seorang Khawarij yang bernama Abdurrahman ibn Muljam.
Sebenarnya sasaran pembunuhan tidak hanya Ali, Muawiyah dan Amr ibn Ash juga
akan menjadi sasaran pembunuhan. Namun hanya Ali saja yang berhasil terbunuh.
Ali meninggal pada tangal 20 Ramadhan 40
H. Meninggalnya Ali, berarti berakhir sudah masa kepemimpinannya. Berakhirnya
kepemimpinan Ali juga berarti berakhir sudah masa kepemimpinan Khulafa
ar-Rasyidin. Sepeninggal Ali, kepemimpinan sempat dipegang oleh puteranya
Hasan. Namun, tak beberapa lama Hasan membuat perjanjian dengan Muawiyah dan
menyerahkan kekuasaan kepadanya. Setelah berakhirnya masa Khulafa ar-Rasyidin,
kepemimpinan beralih menjadi dinasti Umayah yang bersifat monarchi.
- Beberapa Kebijakan yang Muncul pada Masa Khulafa’
ar-Rasyidin
1. Memerangi Kaum Riddah
Abu Bakar dihadapkan pada keadaan, masyarakat
sepeninggalnya Muhammad SAW. Ia menghadapi kesulitan kesulitan yang
memuncak. Dengan ketegasan Abu Bakar ini
disambut dan didukung oleh hampir seluruh kaum muslimin, untuk memerangi
kemurtadan (nadah) ini.
2. Pengelolaan Kas Negara
Pada Masa Abu Bakar kekuasaan bersifat sentral
(eksekutif, legislatif, yudikatif, terpusat pada pimpinan tertinggi). Pada masa
Umar lembaga yudikatif dipisahkan dengan didirikannya lembaga pengadilan,
bahkan di daerah-daerah).Masa
pemerintahan Umar mulai diatur dan ditertibkan tentang pembayaran gaji dan
pajak tanah. Untuk mengelola keuangan negara didirikan Baitul Mal. Mulai saat ini
pemerintahan Umar sudah menempa mata uang sendiri. Seluruh kebijakan yang
dilaksanakan, pada hakekatnya merupakan upaya mengkonsoldasikan bangsa arab dan
melebur suku-suku arab kedalam satu suku bangsa. Pemerintahan Usman
mengalami masa kemakmuran dan berhasil dalam beberapa tahun pertama
permerintahanya. Ia melanjutkan kebijakan-kebijakan khalifah Umar.
Pada separuh terakhir masa pemerintahannya, muncul
kekecewaan dan ketidakpuasan di kalangan mayarakat karena ia mulai mengambil
kebijakan yang berbeda dari sebelumnya. Usman
mengangkat keluarganya (Bani Umayah) pada kedudukan yang tinggi. Sebagai
khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib meneruskan cita-cita Abu Bakar dan Umar. Ia mengikuti dengan tepat
prinsip-prinsip Baitul Mal dan memutuskan untuk mengembalikan
semua tanah yang diambil alih oleh Bani Umayah ke dalam perbendaraan negara.
Demikian hibah atau pemberian Usman kepada siapapun yang tiada beralasan,
diambil kembali. Ali kemudian bertekad unruk mengganti semua gubernur yang
tidak disenangi rakyat, tetapi Mua’wiyah, gubenur syria, menolaknya. Oleh
karenanya khalifah Ali harus menghadapi kesulitan dengan Bani Ummayah.
3.
Penataan Birokrasi Pemerintahan
Pengembangan sistem birokrasi pemerintahan ini
berdasarkan pada pemikiran para khalifah, khususnya Umar bin Khatab, yang
berhasil memadukan sistem yang ada di daerah perluasan dengan kebutuhan
masyarakat yang sudah mulai berkembang pada saat itu.
4. Perluasan dan Pengelolaan Wilayah
Satu keterkaitan antara perluasan dan pengelolaan
wilayah dengan masuk Islamnya penduduk di wilayah-wilayah tersebut adalah sikap toleransi dari kaum muslimin dan mereka
mendapatkan perlakuan yang baik. Mereka hidup lebih aman dan damai di bawah
perlindungan pemerintahan Islam, sehingga mereka masuk Islam dengan kemauan
sendiri tanpa adanya paksaan dari kaum muslimin.
5.
Sistem Nepotisme
Pergantian Umar dan Usman dapat diartikan pergantian
keradilan dan kekerasan dengan kelonggaran, kelemahan dan sikap ragu-ragu. Akibatnya banyak kaum muslimin yang meninggalkan
Usman, yang berarti hilangnya kawan-kawan dan oarang-orang
tempat nya ia menumpahkan kepercayaan, kecuali kerabatnya. Oleh sebab itu
banyak pejabat dipecat dan digantikan oleh senak kerabatnya. Pada masa itulah
oleh lawan-lawan politiknya ia dituduh melakukan nepotisme
(sistem family).
- Perkembangan Peradaban Islam.
- Pembukuan Al-Qur’an
Setelah Rasulullah wafat dan Abu Bakar menjadi
khalifah, terjadi perang Yammah yang merenggut korban kurang lebih 70 sahabat
penghafal Al-Qur’an. Banyaknya sahabat yang gugur dalam peristiwa
tersebut, timbul kekawatiran di kalangan sahabat khususnya Umar bin Khathab,
akan menyebabkan hilangnya Al-Qur’an.
Awalnya Abu Bakar keberatan karena hal itu tidak dilakukan oleh Rasul. Umar
menyarankan kepada Abu Bakar agar menghimpun surat-surat dan ayat-ayat yang masih berserakan kedalam satu mushaf. Akhirnya Abu Bakar
menyutujuinya. Ketika Umar menjadi khalifah, mushaf itu berada dalam
pengawasannya. Sepeninggal Umar, mushaf tersebut disimpan di rumah Hafsah binti
Umar, isteri Rasul SAW. Dimasa Usman bin Affan, timbul perbedaan cara membaca
Al Qur’an dikalangan umat islam. Untuk itu Usman
membentuk suatu panitia yang di ketuai oleh Zaid bin Tsabit. Setelah selesai
mushaf dikembalikan kepada Hafsah, Zaid membuat salinan sejumlah 6 buah.
Khalifah menyuruh agar salinan tersebut di kirim kebeberapa wilayah islam.
- Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Pada masa permulaaan islam, para sahabat yang utama
baik dalam kedudukannya sebagai pejabat maupun dengan sukarela, berangkat ketempat-tempat pemukiman baru dan kota-kota lainya untuk mengajarkan agama islam kepada penduduk setempat. Di tempat-tempat baru itu mereka berhadapan dengan berbagai
masalah, Pemecahan masalah-masalah
tersebut merupakan cikal bakal bagi lahirnya ilmu pengetahuan, terutama dalam
bidang agama.
- Perkembangan Arsitektur
Arsitektur dalam islam di mulai tumbuhnya dari masjid.
Salah satunya masjid yang dibangun dan diperbaiki pada masa khulafaur rosyidin yaitu;
a.
Masjid al-Haram, khalifah Umar mulai
memperluas masjid yang pada masa
Rasulullah masih amat sederhana, dengan membeli tembok rumah rumah di sekitarnya. Pada masa Usman (26H). Masjid al Haram di perluas.
b. Masjid Madinah (Nabawi), Khalifah Umar mulai
memperluas masjid ini (17H) bagian selatan ditamabah 5 meter dibuat mihrab,
bagian barat di tamabah 5meter dan bagian utara ditambah 15 meter, pintu masuk
menjadi 3 buah. Masa khalifah Usman, diperluas lagi dan diperindah dindingnya
diganti dengan batu, bidang-bidang
dinding dihiasi dengan berbagai ukiran. Tiang-tiangnya dibuat dari beton bertulang dan ditatah dengan ukiran, plafonnya
dari kayu pilihan. Unsur estetisnya mulai diperhatikan.
- Penutup
Demikian tadi sejarah singkat mengenai masa
kekhalifahan Khulafa ar-Rasyidin. Masa pemerintahan selama kurang lebih 30
tahun itu kiranya patut dijadikan contoh untuk para pemimpin masa sekarang.
Ketegasan Abu Bakar, pemikiran progressif Umar, kedermawanan Utsman dan sikap
bijaksana Ali tentunya bisa menjadi teladan bagi kita.
Mengenai konflik yang sering terjadi pada masa itu,
kita hendaknya bersikap dewasa, bahwa sesungguhnya konflik adalah sunnatullah
dan bagaimana kita menghadapinya dengan kepala dingin. Terlepas dari konflik
dan beberapa hal yang terjadi pada masa Khulafa ar-Rasyidin, kita sadar bahwa
mereka adalah para sahabat nabi, mereka adalah orang terkasih nabi, mereka
bagaikan bintang yang dapat menunjukkan arah pada saat kegelapan.
Makalah ini jauh dari kesempurnaan. Sebagai manusia,
kami sadar bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini kecuali Dzat-Nya. Kami
mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan
kesalahan. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan demi
terwujudnya lingkungan akademis yang hidup. Wallahu a’lam bis Shawab.
Daftar Pustaka
Al-Usairy, Ahmad Sejarah Islam sejak Zaman Nabi
Adam hingga Abad XX, terj. Jakarta : Akbar Media, 2008
Aslan, Reza, Rahasia Syahadat, Asal-usul, Evolusi
dan Masa Depan Islam, terj. Sajadah Press, 2008
As-suyuthi, Jalal
ad-Din, Tarikh al-Khulafa’,
Dar-al-Fikr, Beirut t.th
As-Sulaimi, Muhammad, Al-Bidayah wan Nihayah, terj.
Jakarta : Darul Haq, 2005
Qaradhawi, Muhammad Yusuf, Hayat ash-Sahabat,
Mustafa Ahmad Al-Bazz. Makkah, 1992
Syukur, Fatah, Sejarah Peradaban Islam,
Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009
Sholikhin, M, Sejarah Peradaban Islam, Semarang
: Rasail, 2005
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta : Raja Grafindo, 2008
[1] Dalam riwayat lain
dikatakan bahwa nabi bersabda: فعليكم
بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين . lihat Muhammad Yusuf Qordhawi, Hayat
ash-Sahabat, Mustafa Ahmad Al-Bazz. Makkah, 1992,j.hlm.20.
[3] Ibid.
[5] Reza Aslan, Rahasia
Syahadat, Asal-usul, Evolusi dan Masa Depan Islam, terj. Sajadah Press,
2008. hlm. 200
[9] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo, 2008. hlm. 36
[14] Ahmad al-Usairy,
Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, terj. Jakarta :
Akbar Media, 2008. hlm. 150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar