Senin, 15 Agustus 2011

CERITA LUCU AKIBAT PERBEDAAN PENENTUAN AWAL RAMADHAN DAN HARI RAYA IDUL FITRI


Dalam kurun waktu terakhir ini sering kali kita menemukan perbedaan dalam penetuan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Perbedaan dilandasi oleh perbedaan pola pikir dan cara pandang dalam memaknai wujudul hilal.
Perbedaan ini tentunya membuat orang-orang (awam) bingung, akan ikut yang mana? Kebanyakan mereka menanyakan mengapa masih terjadi perbedaan? Padahal Allah menciptakan matahari satu, bulan satu dan bumi satu dan masing-masing beredar pada garis edarnya.
Snocuk Huorgrenje, orang Belanda, dalam menanggapi masalah ini, pernah memberikan statement kepada Gubernur Jenderal Belanda, “Tak usah heran jika di negeri ini hampir setiap tahun timbul perbedaan penetapan awal dan akhir puasa ( dan penetapan Idul Adha ). Bahkan terkadang perbedaan itu terjadi antara kampung-kampung berdekatan.” (Tempo, 26 Maret 1994).
Tetapi di balik permasalahan-permasalahan tersebut, tentunya tersimpan banyak sekali cerita lucu. Cerita-cerita lucu tersebut ada kalanya nyata, dan ada pula yang fiktif. Sebagian dari cerita-cerita tersebut akan saya sajikan dalam tulisan di bawah ini.
Cerita ini saya buat pada tahun 2009 yang lalu dan ini merupakan salah satu tugas konyol yang diberikan oleh salah satu dosen kepada kami, mahasiswa baru semester baru pada waktu itu. Dua tahun kemudian baru sempat saya posting. Semoga menghibur.

 Awal puasa belakangan, Idul Fitrinya duluan.
Tersebutlah seorang pemuda bernama Romi. Dia adalah pemuda yang pas-pasan. Mulai dari tampang, kantong, maupun ketaatan dalam beragama.
Suatu kali, ketika datang bulan Ramadhan, seperti biasa muncul perbedaan mengenai penentuan awal Ramadhan. Salah satu ormas islam menetukan awal Ramadhan katakanlah pada hari Ahad dan ormas yang lain menentukan hari Senin. Hal ini tentunya membuat bingung kebanyakan orang, termasuk Romi.
Tetapi dasar Romi, maunya pingin makan terus. Akhirnya dia memilih menjalankan puasa pada hari Senin.
Karena pada penentuan awal Ramadhan sudah terdapat perbedaan, maka penentuan hari raya Idul fitri pun juga terjadi perbedaan. Tahun ini ada dua hari raya. Tetapi pada tahun ini, para ormas islam ini tidak menggunakan Istikmal. Jadi jumlah hari puasa adalah 29 hari.
Tentu seperti pada awal Ramadhan, hal ini juga membuat bingung masyarakat, termasuk Romi. Tetapi lagi-lagi dasar Romi, kalau ketika awal Ramdhan kemarin dia ikut puasa yang belakangan, Idul Fitrinya dia ikut yang lebih duluan. Alasannya, “Aku kan cuma ikut-ikutan. Kalau dosa ada yang nanggung. Katanya kan kalau kita beribadah disuruh ambil yang lebih mudah.” Tapi Romi, jumlah puasamu kan tidak genap satu bulan. Sama aja boong.
Masih mending Romi daripada Sule. Bagi Sule, mau awal Ramadhan kapan pun terserah, wong dia tidak pernah puasa he….he…… Tapi anehnya kalau pas Idul Fitri walaupun ada dua Idul Fitri dia ikut kedua-duanya. Aneh.

Mrema’ terus………….
Ternyata perbedaan penentuan hari raya juga berdampak pada bidang ekonomi. Tidak percaya? Di bawah ini ada cerita mengenai dampak perbedaan penentuan hari raya di bidang ekonomi.
Seperti yang kita ketahui, ada tradisi yang berlaku di masyarakat kita bahwa sebelum hari raya lebaran mereka biasanya berbondong-bondong ke pasar untuk berbelanja keperluan lebaran. Ini bisa dilihat dari pasar-pasar yang ramai setiap menjelang lebaran. Tentu saja hal ini dimanfaatkan para pedagang untuk mrema. Ketika pembeli sedang banyak-banyaknya, mereka akan menaikkan harga jual dagangannya.
Sama seperti cerita di atas, tahun ini pun terjadi perbedaan penentuan hari raya. Ada dua hari raya pada tahun ini. Jumlah pengikut madzhab masing-masing berimbang. Seperti kebenyakan pedagang, Pak Pri yang sehari-hari berjualan ayam di pasar Karangayu juga memenfaatkan momen sebelum lebaran ini untuk mrema dagangannya. Pada H-1, banyak pembeli yang membeli ayamnya untuk hidangan lebaran. Karena hari rayanya ada dua, maka H-1nya pun ada dua. Jadi Pak Pri mrema dua kali. Mungkin pikir Pak Pri, “Andai saja lebarannya ada banyak, pasti saya bisa mrema terus nih, untung besar……”

Khotbah double.
Tersebutlah seorang Dai kondang bernama Ustadz Rijal. Ketenaran Ustadz Rijal ini konon sampai seantero propinsi karena dia Dai yang ulung. Beliau sering diundang untuk mengisi pengajian, taushiyah, khotbah, dll.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ramadhan tahun ini Ustadz Rijal kebanjiran order ceramah. Setiap hari, pasti dia mengisi pengajian minimal tiga kali. Tidak hanya pengajian di bulan Ramadhan, permintaan untuk Khotbah Idul Fitri pun sudah ada semenjak awal Ramadhan. Tetapi Ustadz Rijal memilih memenuhi permintaan Khotbah orang yang pertama kali menemuinya.
Awal Ramadhan tahun ini terjadi perbedaan. Salah satu oramas islam menentukan lebih awal dan ormas yang lain belakangan. Ustadz Rijal menduga bahwa lebaran tahun ini pasti juga beda. Makanya, beliau memenuhi dua permintaan khotbah Idul Fitri, satu dari ormas islam A dan satunya ornas islam B.
Benar saja, Idul Fitri pun terjadi perbedaan. Ustadz Rijal pun dua kali khotbah Idul Fitri. Sehari di sini dan sehari di sana. Tetapi ketika Ustadz Rijal ditanya, anda ikut lebaran yang mana? Beliau menjawab saya ikut yang awal. Ketika ditanya mengapa anda Khotbah dua kali? Jawabannya enteng, “Saya kan cuma memenuhi undangan. Memenuhi undangan kan wajib.” Enak saja……….

Shalat Tarawih di Malam Lebaran.
Beginilah kalau di negara kita tercinta ini belum ada solusi yang menyatukan persepsi mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan, sehingga untuk mengambil keputusan dalam siding itsbat membutuhkan waktu yang sangat lama. Seperti yang terjadi pada sidang itsbat yang menentukan akhir Ramadhan 1430 H tahun ini. Proses permufakatan dalam sidang itsbat berlangsung lama. Hal ini disebabkan karena masing-masing peserta siding itsbat yang diwakili oleh ormas-ormas islam memiliki persepsi yang berbeda.
Ditambah pula proses rukyah di berbagai daerah di Indonesia yang belum menemukan hilal, kecuali dua daerah di Indonesia yakni Masjid Agung Jawa Tengah dan Pelabuhan Ratu Jawa Barat. Informasi mengenai terlihatnya hilal itupun datang terlambat. Hal ini sangat disayangkan, mengingat ini adalah era globalisasi di mana setiap informasi dapat disampaikan dan diakses kapan pun dan di mana pun. Mengapa ketika mereka melaksanakan rukyah tidak disiarkan langsung saja melalui televisi, meskipun itu televisi lokal ataupun nasional.
Proses penetapan yang agak terlambat ini tentu berdampak pada masyarakat. Mereka bingung, kapan lebarannya? Diantara mereka banyak yang yakin bahwa besok masih puasa, sehingga setelah mereka melaksanakan jamaah sholat Isya’ dilanjutkan dengan jamaah sholat Tarawih.
Lucunya berita mengenai keputusan sidang itsbat datang ketika mereka tengah melaksanakan sholat tarawih dan sudah mendapat 2 raka’at. Akhirnya, mereka yang tengah melaksanakan sholat tarawih membubarkan diri setelah mendengar masjid lain sudah mengumandangkan takbir. Salah satu dari mereka nyeletuk, “Wah, kok ada ya sholat tarawih di malam takbiran?” Ada juga yang bilang, “Biasanya lebaran tu habis maghrib, ini kok habis Isya? Lebarannya diundur ya?”.

Chusainul Adib_2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar