Senin, 31 Oktober 2011

Hukum Represif


HUKUM REPRESIF
Represif berasal dari bahasa Inggris “reperessive” yang berarti penindasan / menindas. Gagasan hukum represif menganggap bahwa tatanan hukum tertentu dapat berupa ketidakadilan yang tegas. Keberadaan hukum tidak menjamin keadilan apalagi keadilan substantif. Sebaliknya, setiap tatanan hukum memiliki potensi represif sebab hingga tingkat tertentu ia akan selalu terikat pada status quo dan dengan memberikan baju otoritas pada penguasa, hukum membuat semaikn efektif.
Kekuasaan pemerintah bersifat represif manakala kekuasaan tersebut tidak memperhatikan kepentingan orang-orang yang diperintah, yaitu ketika kekuasaan dilaksanakan tidak untuk kepentingan mereka atau dengan mengingkari legitimasi mereka. Benar bahwa setiap keputusan pemerintah dapat mensyaratkan tergantungnya pemenuhan beberapa kepentingan pada kepentingan lainnya. Tidak semua tuntutan dapat dikabulkan dan setiap kepentingan diberi pengakuan yang sama. Tetapi jika kita mengesampingkan suatu kepentingan ketika kita memberikan keleluasaan bagi suatu hal yang memang harus diprioritaskan, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai sebuah represi. Sebuah keputusan yang merugikan bukan merupakan sebuah represi sepanjang keputusan itutidak membahayakan, misalnya dengan mengikuti prosedur yang menghormati hak-hak seseorang atau dengan mencari cara yang dapat mengurangi atau membatasi akibat yang membahayakan.
Rezim represif adalah rezim yang menempatkan seluruh kepentingan dalam bahaya, terutama kepentingan yang tidak dilindungi oleh sistem yang berlaku dalam keistimewaan kekuasaan. Bentuk represi yang paling jelas adalah penggunaan kekuasaan yang tidak terkontrol untuk menegakkan perintah, menekan pihak yang tidak patuh atau menghentikan demokrasi. Meskipun tatanan hukum dapat menggunakan paksaan (concercion) atau bergantung pada kekuasaan pamungkas untuk melakukan paksaan, namun tatanan hukum tidak semata membuat sistem menjadi represif. Kekuatan memaksa tidak represif manakala kehormatan orang-orang dijaga, bahkan pada saat kekuatan diterapkan pada mereka.
Paksaan cenderung mendorong menjadi represi karena karena :
1.        Tersedianya alat-alat pemaksa memberikan alternatif yang nyaman dan mengurangi kebutuhan untuk melakukan akomodasi
2.        Penggunaan kekuatan merupakan suatu dehumanisasi : seorang target paksaan akan dijauhkan dari situsai dialog, persuasi, penghormatan, dan legitimasi atas kalim-klaimnya.
Seperti halnya paksaan tidak harus represif, demikian juga represi tidak harus yang bersifat memaksa. Ketika pemerintah mendapatkan legitimasi karena ia memelihara kebiasaan umum untuk taat (the general habit of obedience, Austin), paksaan tidak diperlukan. Hasil semacam ini membutuhkan tidak lebih dari persetujuan warga negara secara umum dan diam-diam. Persetujuan diam-diam (uniformed consent) yang terdapat dalam ketakutan dan terpelihara dengan sikap apatis membuka jalan lebar bagi otoritas yang sah namun tidak terkontrol. Selain itu, beberapa persetujuan terdistorsi oleh keputusasaan. Contohnya, ketika kelemahan dan tidak terorganisasinya golongan yang ditekan membuat mereka menerima tujuan dan perspektif pihak yang menekan. Represi akan sempurna jika tidak sampai pada suatu paksaan. Dengan demikian kunci menuju represi tidak terletak pada paksaan atau persetujuan itu sendiri, namun terletak pada seberapa jauh kekuasaan memperhitungkan dan dikontrol oleh kepentingan-kepentingan bawahan sebagaimana yang ditunjukkan oleh kualitas persetujuan dan penggunaan paksaan.
Secara sistematis, hukum represif menunjukkan karakter-karakter berikut ini :
1.        Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik, hukum diidentifikasikan sama dengan negara dan disubordinasikan pada tujuan negara
2.        Langgengnya sebuah otoritas merupaka urusan yang paling penting dalam administrasi hukum. Dalam perspektif resimyang dibangun, manfaat dari keraguan (the benefit of doubt) masuk ke dalam sistem dan kenyamanan administratif menjadi titik berat perhatian.
3.        Lembaga-lembag kontrol yang terspesialisasi, seperti polisi, menjaid pusat kekuasaan yang independen, mereka terisolasi dari dari konteks sosial yang berfungsi memperlunak, serta mampu menolak otoritas politik.
4.        Sebuah rezim berganda (dual law) melembagakan keadilan berdasarkan kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi pola-pola subordinal sosial
5.        Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan, moraisme hukum yang akan menang.
Represi adalah sesuatu yang alami, bahwa penilaian kritis tehadap hukum represif harus dimulai dari pemahaman yang simpatik bagaimana ia muncul. Sumber umum bagi suatu represi adalah miskinnya sumber daya yang tersedia bagi elit-elit yang memerintah. Karena alasan ini, represi adalah sesuatu yang besar kemungkinannya mengiringi pembentukan dan terpeliharanya tatanan politik, dan dapat terjadi dapat disengaja dalam upaya mencari tujuan-tujuan yang baik.
Represi Ekonomi dan Kekuasaan
Sumber represi terbesar, jika kita terima urgensi kepemimpinan apa adanya, menurut Merriam adalah apa yang disebut sebagai kemiskinan kekuasaan (the poverty of power). Tidak ada yang lebih mengejutkan bagi para pemegang kekuasaan atau mungkin para warganya daripada lemahnya komando atau perintah  dalam tipe-tipe krisis tertentu. Ketika pemegang kekuasaan berada dala situasi yang sangat sulit, mereka akan berpaling pada mekanisme-mekanisme represi. Mereka melakukannya tidak harus karena tujuan jahat, tetapi karena mereka mungkin tidak melihat jalan lain untuk memenuhi tanggung jawab mereka.
Pola ini terlihat jelas dalam tahapan pembentukan komunitas politik. Pembentukan bangsa (nation building) pada akhirnya merupakan suatu transformasi loyalitas dan kesadaran. Tetapi pada proses nation buliding ini merupakan pekerjaan dari elit-elit yang mempunyai kemampuan terbatas selain penggunaan kekuatan dan penipuan. Kemudian, ketika institusi-institusi kebangsaan mulai terbentuk, negara dapat mulia melngkah dengan menyediakan pelayanan. Dengan demikian, negara akan memenangkan kesetiaan dan dukungan dari masyarakat. Yang paling diperlukan dalam national building adalah perdamaian raja bersama dengan pengambilalihan politik terhadap penentang-penentang potensial.
Tatanan hukum yang terjadi sebagaia dmapak lanjutan dari proses di atas emiliki karakter sebagai berikut :
1.        Pengadilan dan aparat hukum adalah menteri-menteri sang raja. Mereka dianggap (dan menganggap diri mereka) sebagai instrumen penguasaa yang mudah diatur atau dipengaruhi. Institusi-institusi hukum melayani negara. Mereka bukanlah bagian yang tak terpisahkan dari negara.
2.        Tujuan utama hukum adalah ketentraman umum, untuk menjaga kedamaian dalam setiap peristiwa dan dengan resiko apapun. Terpuaskannya keinginan masyarakat dan keamanan umum adalah tujuan dari tatanan hukum.
3.        Institusi-institusi hukum mempunyai sedikit sumber daya lain selain kekuatan pemaksa dari negara. Karena itu, hukum pidana merupakan perhatian utama aparat hukum dan cara representattif dari otoritas hukum
4.        Aturan hukum memberikan corak otoritas pada kekuasaaan, tspi penggunaaan aturan disesuaikan dengan kriteria kelayakan politik. Tujuan negara mensyaratkan bahwa kebebasan atau keleluasaan yang tidak terkontrul perlu dijaga, bahwa peraturan-peraturan perlu secara lemah mengikat atau berlaku terhadap pemegang kedaulatan, bawa pengakuan terhadap hak-hak merupakan hal yang  berbahaya.
Kondisi di atas tidak hanya terjadi pada negara yang baru mjuncul atau dilanda persoalan pelik. Bahkan kenyataan hal ini secara ekstrim justru terjadi pada negara besar totaliter di zaman modern. Ide tentang tatanan atau ketertiban meliputi lebih dari sekedar perdamaian dan pada prakteknya, usaha untuk memaksakan rekonstruksi masyarakat secar radikal memunculkan kebutuhan akan paksaan. Tidak mampu mengandalkan kesetiaaan publik, negara totaliter dihantui ketakutan akan perlawanan dan pengkhianatan, oleh karena itu secara terus menerus mengandalkan sumber daya pemaksanya. Kriminalisasi adalah bentuk yang paling disukai untuk keperluan kontrol yang resmi dan semangat hukum darurat mengemuka.
Perspektif Resmi
Jika suatu rezim telah mapan, perintah-perintah politik mungkin menjadi kurang penting dan kurang mendasar. Tetapi pengaruh mereka tetap ada. Kekuatan dikonsolidasikan oleh keinginan akan perintah-perintah administratif : “sang sistem” harus dipelihara, sumber daya administrasi harus dijaga, otoritas harus dikontrol. Maka muncullah “perspektif resmi”. Dengan perspektif resmi, penguasa mengidentikkan kepentingan mereka di bawah kepentingan masyarakat dan meletakkan kepentingan rakyat di bawah kepentingan birokrasi.

Aparat Pelaksana Paksaan
Akibat represif dari perintah kelembagaan juga tampak pada hubungan antara negara dengan badan-badan penegak hukumnya. Ketergantungan pemerintah pada keahlian dan kesetiaan mereka, badan-badan ini memperoleh kekuasan dan kesempatan untuk melanjutkan kepentingan-kepentingan organisasi mereka. Mereka dapat menginterpretasikan makna ketertiban menurut kebutuha dan perspektifnya. Akibatnya, negara membagi monopolinya dengan aparat pemaksa yang telah dibentuknya.
Hukum Ganda dan Keadilan Kelas
Gambaran mengenai “keadilan kelas” menggambarkan bagaimana hukum melegitimasi dan secara paksa mendukung sistem subordinasi sosial. Hukum represif melembagakan keadilan kelas. Lagi-lagi, kemiskinan kekuasaan-lah yang menyebabkan represi. Semakin lemah sumber daya dan tatanan politik, dalih penjagaan perdamaian akan semakin menuntut negara untuk mempertahankan status quo.
Produk hukum yang dihasilkannya menjadi represif karena :
1.        Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa, misalnya dengan memaksakan tanggung jawab, namun mengabaikan klaim-klaim dari para pegawai, penyewa dan pengutang. Penghilangan hak-hak istimewa tidak harus bergantung pada dihilangkannya hak suara dari kelas bawah.
2.        Hukum melembagakan ketergantungan. Kaum miskin dianggap sebagai tanggungan negara, bergantung pada lembaga-lembaga khusus (kesejahteraan, perumahan umum), kehilangan harga diri karena pengawasan oleh birokrasi dan terstigma oleh klasifikasi resmi . jadi maksud baik untuk menolong jika didukung dengan penuh keengganan dan ditujukan pada penerima yang tidak berdaya, maka akan menciptakan pola baru sub-ordinasi.
3.        Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial terhadap kelas yang berbahaya, misalnya mengkriminalisasikan kondisi kemiskinan dalam hukum tentang gelandangan.
Represi hanyalah salah satu sisi dari keadilan kelas. Sisi lainnya adalah konsolidasi hak istimewa. Ketika kelompok dominan mempertahankan perlindungan negara bagi diri mereka dan memanfaatkan otoritas negara untuk memperoleh hak-haknya, maka akan muncul hukum ganda. Hukum bagi kelompok yang yang tidak mempunyai hak-hak istimewa kebanyakan bersifat publik, dilaksanakan oleh badan negara yang khusus, disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan politik dan kelayakan administrasi. Urusan dari hukum semacam ini adalah pengawasan, etosnya bersifat preskriptif (memberikan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan) dan menitikberatkan pada sanksi. Bersamaan dengan adanya hukum semacam ini, kita melihat pula tumbuhnya suatu hukum yang lain, yang terpusat pada hak, bersifat fasilitatif dan umumnya merupakan hukum privat. Hukum bagi kelompok yang memiliki hak-hak istimewa ini melindungi kepemilikan dan mengakkan kesepakatan sosial yang terlepas dari hukum negara dan bebas dari campur tangan politik, dilaksanakan oleh pengadilan independen dan negara bersifat pasif; hanya sebagai arbiter jika terjadi sengketa dan selaku penjaga perturan yang tidak dibuatnya.
Moralitas Hukum dan Hukum Punitif (Hukum yang Sarat dengan Sanksi)
Sumber yang langgeng bagi hukum represif adalah adanya kebutuhan akan pandangan konvensional mengenai budaya. Kepemilikan bersama atas aturan moral mendukung kebersamaan sosial dan oleh karena itu ia merupakan sumber daya bagi langgengnya ketertiban. Hukum pidana selain untuk pemberantasan kekerasan dan pengkhiatan terhadap negara juga berfungsimemberantas serangan-serangan terhadap kesadran umum.
Mungkin lahan yang paling subur untuk moralisme hukum adalah moralitas komunal , yakni moralitas yang ditanamkan untuk mempertahankan komunitas patuh.  Ketidaktaatan merupakan pengkhianatan, yaitu serangan terhadap masyarakat itu sendiri. Beratnya pengkhianatan tersebut tidak mempunyai keterkaitan sedikitpun dengan persoalan apakah kepentingan tertentu yang dilanggar atau seberapa seriuskepentingan itu dilanggar.
Moralisme hukum bergerak ke arah punitif, yakni dengan memasukkan suatu kecenderungan untuk memberikan sanksi ke dalam proses hukum. Dalam hukum punitif, kejahatan bukanlah pelanggaran atas suatu kewajiban tertentu, melainkan tindakan ketidaktaan itu sendiri. Apabila seseorang tidak taat terhadap hukum, hukum punitif tetap melihatnya sebagai kejahatan yang harus diberi sanksi, meskipun ada konteks tertentu.
 Jika berbagai wujud hukum represif kita kaji ulang, terlihat dua sosok utama, yaitu :
1.        Integrasi yang dekat antara hukum dan politik dalam bentuk subordinasi langsung dari institusi-institusi hukum terhadap elit-elit yang berkuasa, baik di sektor publik maupun swasta. Hukum adalah lat yang mudah diutak-atik, siap mengkonsolidasikan kekuasaan, mengawal otoritas, mengamankan hak-hak istimewa, dan memenangkan ketaatan.
2.        Diskresi pejabat yang tidak terkontrol, suatu hal yang merupakan hasil dan sekaligus kepastian utama dari kemudahan untuk mengutak-atik hukum.
Dua sosok ini menghambat hukum secara mendasar, yaitu bahwa keduanya merintangi pembentukan berbagai institusi hukum. Hukum tetap tidak terpisahkan dari politik, admninistrasi dan tatanan moral. Hukum selalu merupakan alat untuk mengesahkan legitimasi peraturan, perintah dan posisi resmi. Meski demikian, alat tersebut bervariasi dalam hal kecanggihan dan efektifitasnya. Hukum represif adalah instrumen legitimasi yang relatif mentah. Ia dapat memberikan watak otoritas kepada kekuasaan, namun dukungannya dinodai oleh sikap serba tunduk. Kelemahan ini tidaklah serta merta fatal, karena suatu legitimasi yang mentah pun bisa memadai, misalnya jika penguasa mengandalkan persetujuan diam-diam yang pasif dan ketika klaim atas legitimasi jarang diuji. Tetapi ketika persetujuan bermasalah, dan akuntabilitas semakin dituntut, rezim yang membiarkan terjadinya manipulasi hukum akan gagal untuk menjaga aura legitimasinya.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas, karakteristik hukum represif dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
TUJUAN HUKUM
Ketertiban umum
LEGITIMASI
Ketahanan sosial dan tujuan Negara
PERATURAN
Keras dan rinci namun lemah terhadap pembuat hukum. Terdapat peraturan ganda dan keadilan kelas, yakni pembedaan jenis hukum tergantung pada siapa yang mempunyai hak-hak istimewa
PERTIMBANGAN
Ad hoc: memudahkan mencapai tujuan dan partikular
DISKRESI
Sangat luas: oportunuistik
PAKSAAN
Ekstensif: dibatasi secara lemah
MORALITAS
Moralitas komunal; moralisme hukum, “moralitas pembatasan”
POLITIK
Hukum subordinatif terhadap politik kekuaasaan
HARAPAN KETAATAN
Tanpa syarat, ketidaktaatan dihukum sebagai pembangkangan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar