Jumat, 13 Januari 2012

Hubungan Hukum dan Moralitas



Ada dua pandangan yang berbeda dalam hal interelasi antara hukum dengan nilai-nilai moralitas. Pandangan yang pertama adalah pihak yang sering kontra terhadap kriminalisasi dan delik-delik kesulsilaaan. Mereka berpandangan bahwa masalah kesusilaan adalah merupakan masalah privat, yang karenanya tidak ada otoritas dari lembaga hukum untuk mengaturnya sepanjang tidak merugikan pihak lain. Pandangan ini adalah pandangan yang banyak dianut oleh masyarakat Barat.
Di negara-negara barat, baik yang civil law  maupun common law, delik-delik kesusilaan dianggap sebagai persoalan yang bersifat privat, bahkan di beberapa negara, perbuatan tersebut kecenderungannya tidak dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana, sepanjang tidak ada unsur paksaan, tidak dilakukan terhadap anak di bawah umur, pihak yang lemah atau tidak berdaya dan tidak dilakukan di depan umum. Falsafah yang digunakan untuk menjustifikasi pandangan tersebut yang sering terdengar adalah : “biarkan hukum itu berhenti di depan kamar tidur”, hukum hanya berhak mengatur urusan umum saja, seperti pencurian, penganiayaan, pembunuhan dan lain-lain, sementara itu jangan biarkan ia mencampuri urusan pribadi seseorang dan mengekang hak-hak individu untuk menikmati kehidupan pribadinya, sehingga orang-orang Barat beranggapan bahwa hukum tidak memiliki otoritas untuk mengatur masalah-masalah moral yang bersifat pr
ivacy.
Dalam hukum Eropa Kontinental (sistem civil law), ukuran agama (religion standards) tidak suka disebut-sebut oleh pembentuk undang-undangnya. Ini karena pengalaman masa lampau yang melahirkan doktrin separation of state and chruch ukuran agama adalah urusan pribadi, sebagaimana agama itu sendiri, sehingga negara tidak mau ikut campur.
Begitu juga dengan standar moral, kurang mendapat perhatian dalam hukum pidana, karena pandangan hidup orang-orang Barat yang individualistis. Sepanjang tidak merugikan orang lain, campur tangan pihak lain dalam hukum pidana dianggap tidak patut.
Pada umumnya, standar moral dan agama saja tidak dapat diterima sebagai dasar untuk mengkualifikasikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, melainkan harus ada unsur kerugian pada pihak lain. Sikap ini membawa akibat yang jelas terlihat dalam delik agama dan delik kesusilaan.
Dalam delik kesusilaan, penekanannya adalah dalam melindungi pihak yang lemah. Oleh karena itu, yang umum dijadikan delik pidana adalah pencabulan atau pemerkosaan yang dilakukan dengan kekerasan, dilakukan kepada anak di bawah umur atau orang yang tidak berdaya. Jika dilakukan oleh orang yang sama-sama dewasa dan atas dasar suka-sama-suka, maka tidak ada delik pidana dalam hal ini.
Dalam delik agama, penghinaan terhadap suatu agama yang diancam pidana semata-mata bukan untuk melindungi keagungan Tuhan dan kehormatan suatu agama, melainkan karena menyinggung perasaan orang lain, yaitu umat beragama. Jadi, delik penghinaan agama bukan karena terlecehnya agama itu sendiri, melainkan karena merugikan pemeluknya dengan perbuatan tidak mengenakkan, yakni menyinggung perasaan dan membuat sakit hati.
Pandangan yang kedua adalah pihak yang sering pro terhadap kriminalisasi delik-delik kesusilaan. Pandangan ini beranggapan bahwa hukum harus bersumber padsa nilai-nilai moralitas yang dianut oleh masyarakat.
Dalam masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kegamaan, seperti Indonesia, masalah moral dan agama menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam aturan hukumnya. Struktur masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang diantaranya adalah karena pengaruh moral dan agama.
Meskipun dalam masalah delik kesusilaan di Indonesia hampir mirip dengan hukum Barat, sebagai contoh, delik perzinahan tidak berlaku bagi pasangan yang melakukannya atas dasar suka-sama-suka, namun dalam rasa moralitas bangsa Indonesia, pezinahan apapun bentuknya adalah suatu pelanggaran aturan yang berat. Tidak masuknya perzinahan atas dasar suka-sama-suka dalam delik pidana ini lebih disebabkan oleh hukum pidana Indonesia yang merupakan adopsi dari hukum Barat yang diberlakukan sejak zaman penjajahan dahulu dan belum ada amandemen dalam hukum pidana. Bahwa delik perzinahan yang berlaku sekarang bukan merupakan hukum asli bangsa Indoensia.
Dalam konteks hukum islam, mempertanyakan sejauh mana hubungan natara hukum dengan moral sesungguhnya adalah kurang relevan, sebab dalam format hukum islam, hukum, agama dan moralitas adalah satu kesatuanyang tidak dapat dipisahkan. Syariat islam datang dengan tujuan untuk memelihara dan menjaga nilai-nilai moral. Untuk tujuan ini, ada banyak ketentuan dalam hukum islam yang semata-mata untuk memelihara dan melindungi nilai-nilai moralitas.
Perlindungan nilai-nilai moralitas dalam hukum islam dapat ditemui juga pada kajian ushul fiqh yang menetapkan prinsip-prinsip tujuan utama dari ditetapkannya syariah yang dikenal dengan ad-dharuriyat al-khamsah (perlindungan lima unsur dasar kepentingan manusia) yang meliputi hifdz ad-din (perlindungan terhadap agama/keyakinan), hifdz an-nafs (perlindungan jiwa), hifdz an-nasl wa al-irdh (perlindungan genetika dan kehormatan), hifdz al-aql (perlindungan akal) dan hifdz al-mal (perlindungan harta).
Perlindungan terhadap kehormatan hifdz al-irdh yang ditetapkan sebagai salah satu tujuan utama dari penetapan hukum islam merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara hubungan hukum islam dengan moralitas, karena perlindungan terhadap kehormatan merupakan perlindungan terhadap nilai-nilai moral. Pengaharaman zina dengan ancama hukuman yang berat adalah sebuah contoh aturan dari hukum islam yang sangat berkaitan dengan upaya penegakan nilai-nilai moral. Bagi hukum isla m, perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang sangat keji yang menggerogoti nilai-nilai moral.
Pengaruh dari norma agama, terutama hukum islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia inilah yang menjadi salah satu unsur yang melatarbelakangi dijunjungnya nilai-nilai moralitas dan keagamaan dalam penetapan hukum di Indonesia.
Sila Ketuhanan yang Mahaesa dari Pancasila yang telah menjadi ketentuan pasal 29 UUD 1945 telah melegitimasi bahwa kehidupan agama telah meresap dalam kalbu bangsa Indonesia. Rasa keagamaan ini sangat sensitif dan sangat mudah tergerak pada kesempatan-kesempatan tertentu dan semuanya itu memberikan landasan yang kuat bagi unsur-unsur agama bagi tata hukum Indonesia , termasuk di dalamnya adalah delik-delik kesusilaan.
Di Indonesia, kedudukan agama sebagai sumber moral lebih mengikat banyak hal. Secara hipotesis ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa meskipun sistem hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem hukum Barat, tetapi falsafah hukum dan budaya hukum bangsa Indonesia menuntut watak hukum yang berbeda dari watak hukum Barat. Berlakunya Hukum Perdata Islam di Indonesia dan didirikannya Pengadilan Agama adalah merupakan bukti bahwa sebenarnya bangsa Indonesia menuntut watak yang berbeda dari watak hukum Barat. Contoh lain adalah tuntutan beberapa daerah, misalnya Aceh dan Banten untuk diberlakukannya hukum Islam di wilayah mereka adalah bukti bahwa masyarakat Indonesia sangat menjunjung agama dan moralitas dalam pembentukan hukumnya.
Secara terpisah, penulis mengutip pendapat Sandlich, menyimpulkan bahwa hukum suatu negara dapat ditegakkan apabila moralitas masyarakatnya bisa diperbaiki. Penulis menambahkan, bahwa moralitas masyarakat bisa baik jika diatur oleh hukum yang adil dan tegas. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa antara hukum dan moralitas adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan mereka adalah suatu siklus dan ikatan tak terputus.
Wallahu a’lam bi as-shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar