Powered By Blogger

Senin, 31 Oktober 2011

Hukum Represif


HUKUM REPRESIF
Represif berasal dari bahasa Inggris “reperessive” yang berarti penindasan / menindas. Gagasan hukum represif menganggap bahwa tatanan hukum tertentu dapat berupa ketidakadilan yang tegas. Keberadaan hukum tidak menjamin keadilan apalagi keadilan substantif. Sebaliknya, setiap tatanan hukum memiliki potensi represif sebab hingga tingkat tertentu ia akan selalu terikat pada status quo dan dengan memberikan baju otoritas pada penguasa, hukum membuat semaikn efektif.
Kekuasaan pemerintah bersifat represif manakala kekuasaan tersebut tidak memperhatikan kepentingan orang-orang yang diperintah, yaitu ketika kekuasaan dilaksanakan tidak untuk kepentingan mereka atau dengan mengingkari legitimasi mereka. Benar bahwa setiap keputusan pemerintah dapat mensyaratkan tergantungnya pemenuhan beberapa kepentingan pada kepentingan lainnya. Tidak semua tuntutan dapat dikabulkan dan setiap kepentingan diberi pengakuan yang sama. Tetapi jika kita mengesampingkan suatu kepentingan ketika kita memberikan keleluasaan bagi suatu hal yang memang harus diprioritaskan, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai sebuah represi. Sebuah keputusan yang merugikan bukan merupakan sebuah represi sepanjang keputusan itutidak membahayakan, misalnya dengan mengikuti prosedur yang menghormati hak-hak seseorang atau dengan mencari cara yang dapat mengurangi atau membatasi akibat yang membahayakan.
Rezim represif adalah rezim yang menempatkan seluruh kepentingan dalam bahaya, terutama kepentingan yang tidak dilindungi oleh sistem yang berlaku dalam keistimewaan kekuasaan. Bentuk represi yang paling jelas adalah penggunaan kekuasaan yang tidak terkontrol untuk menegakkan perintah, menekan pihak yang tidak patuh atau menghentikan demokrasi. Meskipun tatanan hukum dapat menggunakan paksaan (concercion) atau bergantung pada kekuasaan pamungkas untuk melakukan paksaan, namun tatanan hukum tidak semata membuat sistem menjadi represif. Kekuatan memaksa tidak represif manakala kehormatan orang-orang dijaga, bahkan pada saat kekuatan diterapkan pada mereka.
Paksaan cenderung mendorong menjadi represi karena karena :
1.        Tersedianya alat-alat pemaksa memberikan alternatif yang nyaman dan mengurangi kebutuhan untuk melakukan akomodasi
2.        Penggunaan kekuatan merupakan suatu dehumanisasi : seorang target paksaan akan dijauhkan dari situsai dialog, persuasi, penghormatan, dan legitimasi atas kalim-klaimnya.
Seperti halnya paksaan tidak harus represif, demikian juga represi tidak harus yang bersifat memaksa. Ketika pemerintah mendapatkan legitimasi karena ia memelihara kebiasaan umum untuk taat (the general habit of obedience, Austin), paksaan tidak diperlukan. Hasil semacam ini membutuhkan tidak lebih dari persetujuan warga negara secara umum dan diam-diam. Persetujuan diam-diam (uniformed consent) yang terdapat dalam ketakutan dan terpelihara dengan sikap apatis membuka jalan lebar bagi otoritas yang sah namun tidak terkontrol. Selain itu, beberapa persetujuan terdistorsi oleh keputusasaan. Contohnya, ketika kelemahan dan tidak terorganisasinya golongan yang ditekan membuat mereka menerima tujuan dan perspektif pihak yang menekan. Represi akan sempurna jika tidak sampai pada suatu paksaan. Dengan demikian kunci menuju represi tidak terletak pada paksaan atau persetujuan itu sendiri, namun terletak pada seberapa jauh kekuasaan memperhitungkan dan dikontrol oleh kepentingan-kepentingan bawahan sebagaimana yang ditunjukkan oleh kualitas persetujuan dan penggunaan paksaan.
Secara sistematis, hukum represif menunjukkan karakter-karakter berikut ini :
1.        Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik, hukum diidentifikasikan sama dengan negara dan disubordinasikan pada tujuan negara
2.        Langgengnya sebuah otoritas merupaka urusan yang paling penting dalam administrasi hukum. Dalam perspektif resimyang dibangun, manfaat dari keraguan (the benefit of doubt) masuk ke dalam sistem dan kenyamanan administratif menjadi titik berat perhatian.
3.        Lembaga-lembag kontrol yang terspesialisasi, seperti polisi, menjaid pusat kekuasaan yang independen, mereka terisolasi dari dari konteks sosial yang berfungsi memperlunak, serta mampu menolak otoritas politik.
4.        Sebuah rezim berganda (dual law) melembagakan keadilan berdasarkan kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi pola-pola subordinal sosial
5.        Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan, moraisme hukum yang akan menang.
Represi adalah sesuatu yang alami, bahwa penilaian kritis tehadap hukum represif harus dimulai dari pemahaman yang simpatik bagaimana ia muncul. Sumber umum bagi suatu represi adalah miskinnya sumber daya yang tersedia bagi elit-elit yang memerintah. Karena alasan ini, represi adalah sesuatu yang besar kemungkinannya mengiringi pembentukan dan terpeliharanya tatanan politik, dan dapat terjadi dapat disengaja dalam upaya mencari tujuan-tujuan yang baik.
Represi Ekonomi dan Kekuasaan
Sumber represi terbesar, jika kita terima urgensi kepemimpinan apa adanya, menurut Merriam adalah apa yang disebut sebagai kemiskinan kekuasaan (the poverty of power). Tidak ada yang lebih mengejutkan bagi para pemegang kekuasaan atau mungkin para warganya daripada lemahnya komando atau perintah  dalam tipe-tipe krisis tertentu. Ketika pemegang kekuasaan berada dala situasi yang sangat sulit, mereka akan berpaling pada mekanisme-mekanisme represi. Mereka melakukannya tidak harus karena tujuan jahat, tetapi karena mereka mungkin tidak melihat jalan lain untuk memenuhi tanggung jawab mereka.
Pola ini terlihat jelas dalam tahapan pembentukan komunitas politik. Pembentukan bangsa (nation building) pada akhirnya merupakan suatu transformasi loyalitas dan kesadaran. Tetapi pada proses nation buliding ini merupakan pekerjaan dari elit-elit yang mempunyai kemampuan terbatas selain penggunaan kekuatan dan penipuan. Kemudian, ketika institusi-institusi kebangsaan mulai terbentuk, negara dapat mulia melngkah dengan menyediakan pelayanan. Dengan demikian, negara akan memenangkan kesetiaan dan dukungan dari masyarakat. Yang paling diperlukan dalam national building adalah perdamaian raja bersama dengan pengambilalihan politik terhadap penentang-penentang potensial.
Tatanan hukum yang terjadi sebagaia dmapak lanjutan dari proses di atas emiliki karakter sebagai berikut :
1.        Pengadilan dan aparat hukum adalah menteri-menteri sang raja. Mereka dianggap (dan menganggap diri mereka) sebagai instrumen penguasaa yang mudah diatur atau dipengaruhi. Institusi-institusi hukum melayani negara. Mereka bukanlah bagian yang tak terpisahkan dari negara.
2.        Tujuan utama hukum adalah ketentraman umum, untuk menjaga kedamaian dalam setiap peristiwa dan dengan resiko apapun. Terpuaskannya keinginan masyarakat dan keamanan umum adalah tujuan dari tatanan hukum.
3.        Institusi-institusi hukum mempunyai sedikit sumber daya lain selain kekuatan pemaksa dari negara. Karena itu, hukum pidana merupakan perhatian utama aparat hukum dan cara representattif dari otoritas hukum
4.        Aturan hukum memberikan corak otoritas pada kekuasaaan, tspi penggunaaan aturan disesuaikan dengan kriteria kelayakan politik. Tujuan negara mensyaratkan bahwa kebebasan atau keleluasaan yang tidak terkontrul perlu dijaga, bahwa peraturan-peraturan perlu secara lemah mengikat atau berlaku terhadap pemegang kedaulatan, bawa pengakuan terhadap hak-hak merupakan hal yang  berbahaya.
Kondisi di atas tidak hanya terjadi pada negara yang baru mjuncul atau dilanda persoalan pelik. Bahkan kenyataan hal ini secara ekstrim justru terjadi pada negara besar totaliter di zaman modern. Ide tentang tatanan atau ketertiban meliputi lebih dari sekedar perdamaian dan pada prakteknya, usaha untuk memaksakan rekonstruksi masyarakat secar radikal memunculkan kebutuhan akan paksaan. Tidak mampu mengandalkan kesetiaaan publik, negara totaliter dihantui ketakutan akan perlawanan dan pengkhianatan, oleh karena itu secara terus menerus mengandalkan sumber daya pemaksanya. Kriminalisasi adalah bentuk yang paling disukai untuk keperluan kontrol yang resmi dan semangat hukum darurat mengemuka.
Perspektif Resmi
Jika suatu rezim telah mapan, perintah-perintah politik mungkin menjadi kurang penting dan kurang mendasar. Tetapi pengaruh mereka tetap ada. Kekuatan dikonsolidasikan oleh keinginan akan perintah-perintah administratif : “sang sistem” harus dipelihara, sumber daya administrasi harus dijaga, otoritas harus dikontrol. Maka muncullah “perspektif resmi”. Dengan perspektif resmi, penguasa mengidentikkan kepentingan mereka di bawah kepentingan masyarakat dan meletakkan kepentingan rakyat di bawah kepentingan birokrasi.

Aparat Pelaksana Paksaan
Akibat represif dari perintah kelembagaan juga tampak pada hubungan antara negara dengan badan-badan penegak hukumnya. Ketergantungan pemerintah pada keahlian dan kesetiaan mereka, badan-badan ini memperoleh kekuasan dan kesempatan untuk melanjutkan kepentingan-kepentingan organisasi mereka. Mereka dapat menginterpretasikan makna ketertiban menurut kebutuha dan perspektifnya. Akibatnya, negara membagi monopolinya dengan aparat pemaksa yang telah dibentuknya.
Hukum Ganda dan Keadilan Kelas
Gambaran mengenai “keadilan kelas” menggambarkan bagaimana hukum melegitimasi dan secara paksa mendukung sistem subordinasi sosial. Hukum represif melembagakan keadilan kelas. Lagi-lagi, kemiskinan kekuasaan-lah yang menyebabkan represi. Semakin lemah sumber daya dan tatanan politik, dalih penjagaan perdamaian akan semakin menuntut negara untuk mempertahankan status quo.
Produk hukum yang dihasilkannya menjadi represif karena :
1.        Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa, misalnya dengan memaksakan tanggung jawab, namun mengabaikan klaim-klaim dari para pegawai, penyewa dan pengutang. Penghilangan hak-hak istimewa tidak harus bergantung pada dihilangkannya hak suara dari kelas bawah.
2.        Hukum melembagakan ketergantungan. Kaum miskin dianggap sebagai tanggungan negara, bergantung pada lembaga-lembaga khusus (kesejahteraan, perumahan umum), kehilangan harga diri karena pengawasan oleh birokrasi dan terstigma oleh klasifikasi resmi . jadi maksud baik untuk menolong jika didukung dengan penuh keengganan dan ditujukan pada penerima yang tidak berdaya, maka akan menciptakan pola baru sub-ordinasi.
3.        Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial terhadap kelas yang berbahaya, misalnya mengkriminalisasikan kondisi kemiskinan dalam hukum tentang gelandangan.
Represi hanyalah salah satu sisi dari keadilan kelas. Sisi lainnya adalah konsolidasi hak istimewa. Ketika kelompok dominan mempertahankan perlindungan negara bagi diri mereka dan memanfaatkan otoritas negara untuk memperoleh hak-haknya, maka akan muncul hukum ganda. Hukum bagi kelompok yang yang tidak mempunyai hak-hak istimewa kebanyakan bersifat publik, dilaksanakan oleh badan negara yang khusus, disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan politik dan kelayakan administrasi. Urusan dari hukum semacam ini adalah pengawasan, etosnya bersifat preskriptif (memberikan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan) dan menitikberatkan pada sanksi. Bersamaan dengan adanya hukum semacam ini, kita melihat pula tumbuhnya suatu hukum yang lain, yang terpusat pada hak, bersifat fasilitatif dan umumnya merupakan hukum privat. Hukum bagi kelompok yang memiliki hak-hak istimewa ini melindungi kepemilikan dan mengakkan kesepakatan sosial yang terlepas dari hukum negara dan bebas dari campur tangan politik, dilaksanakan oleh pengadilan independen dan negara bersifat pasif; hanya sebagai arbiter jika terjadi sengketa dan selaku penjaga perturan yang tidak dibuatnya.
Moralitas Hukum dan Hukum Punitif (Hukum yang Sarat dengan Sanksi)
Sumber yang langgeng bagi hukum represif adalah adanya kebutuhan akan pandangan konvensional mengenai budaya. Kepemilikan bersama atas aturan moral mendukung kebersamaan sosial dan oleh karena itu ia merupakan sumber daya bagi langgengnya ketertiban. Hukum pidana selain untuk pemberantasan kekerasan dan pengkhiatan terhadap negara juga berfungsimemberantas serangan-serangan terhadap kesadran umum.
Mungkin lahan yang paling subur untuk moralisme hukum adalah moralitas komunal , yakni moralitas yang ditanamkan untuk mempertahankan komunitas patuh.  Ketidaktaatan merupakan pengkhianatan, yaitu serangan terhadap masyarakat itu sendiri. Beratnya pengkhianatan tersebut tidak mempunyai keterkaitan sedikitpun dengan persoalan apakah kepentingan tertentu yang dilanggar atau seberapa seriuskepentingan itu dilanggar.
Moralisme hukum bergerak ke arah punitif, yakni dengan memasukkan suatu kecenderungan untuk memberikan sanksi ke dalam proses hukum. Dalam hukum punitif, kejahatan bukanlah pelanggaran atas suatu kewajiban tertentu, melainkan tindakan ketidaktaan itu sendiri. Apabila seseorang tidak taat terhadap hukum, hukum punitif tetap melihatnya sebagai kejahatan yang harus diberi sanksi, meskipun ada konteks tertentu.
 Jika berbagai wujud hukum represif kita kaji ulang, terlihat dua sosok utama, yaitu :
1.        Integrasi yang dekat antara hukum dan politik dalam bentuk subordinasi langsung dari institusi-institusi hukum terhadap elit-elit yang berkuasa, baik di sektor publik maupun swasta. Hukum adalah lat yang mudah diutak-atik, siap mengkonsolidasikan kekuasaan, mengawal otoritas, mengamankan hak-hak istimewa, dan memenangkan ketaatan.
2.        Diskresi pejabat yang tidak terkontrol, suatu hal yang merupakan hasil dan sekaligus kepastian utama dari kemudahan untuk mengutak-atik hukum.
Dua sosok ini menghambat hukum secara mendasar, yaitu bahwa keduanya merintangi pembentukan berbagai institusi hukum. Hukum tetap tidak terpisahkan dari politik, admninistrasi dan tatanan moral. Hukum selalu merupakan alat untuk mengesahkan legitimasi peraturan, perintah dan posisi resmi. Meski demikian, alat tersebut bervariasi dalam hal kecanggihan dan efektifitasnya. Hukum represif adalah instrumen legitimasi yang relatif mentah. Ia dapat memberikan watak otoritas kepada kekuasaan, namun dukungannya dinodai oleh sikap serba tunduk. Kelemahan ini tidaklah serta merta fatal, karena suatu legitimasi yang mentah pun bisa memadai, misalnya jika penguasa mengandalkan persetujuan diam-diam yang pasif dan ketika klaim atas legitimasi jarang diuji. Tetapi ketika persetujuan bermasalah, dan akuntabilitas semakin dituntut, rezim yang membiarkan terjadinya manipulasi hukum akan gagal untuk menjaga aura legitimasinya.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas, karakteristik hukum represif dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
TUJUAN HUKUM
Ketertiban umum
LEGITIMASI
Ketahanan sosial dan tujuan Negara
PERATURAN
Keras dan rinci namun lemah terhadap pembuat hukum. Terdapat peraturan ganda dan keadilan kelas, yakni pembedaan jenis hukum tergantung pada siapa yang mempunyai hak-hak istimewa
PERTIMBANGAN
Ad hoc: memudahkan mencapai tujuan dan partikular
DISKRESI
Sangat luas: oportunuistik
PAKSAAN
Ekstensif: dibatasi secara lemah
MORALITAS
Moralitas komunal; moralisme hukum, “moralitas pembatasan”
POLITIK
Hukum subordinatif terhadap politik kekuaasaan
HARAPAN KETAATAN
Tanpa syarat, ketidaktaatan dihukum sebagai pembangkangan


Senin, 15 Agustus 2011

CERITA LUCU AKIBAT PERBEDAAN PENENTUAN AWAL RAMADHAN DAN HARI RAYA IDUL FITRI


Dalam kurun waktu terakhir ini sering kali kita menemukan perbedaan dalam penetuan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Perbedaan dilandasi oleh perbedaan pola pikir dan cara pandang dalam memaknai wujudul hilal.
Perbedaan ini tentunya membuat orang-orang (awam) bingung, akan ikut yang mana? Kebanyakan mereka menanyakan mengapa masih terjadi perbedaan? Padahal Allah menciptakan matahari satu, bulan satu dan bumi satu dan masing-masing beredar pada garis edarnya.
Snocuk Huorgrenje, orang Belanda, dalam menanggapi masalah ini, pernah memberikan statement kepada Gubernur Jenderal Belanda, “Tak usah heran jika di negeri ini hampir setiap tahun timbul perbedaan penetapan awal dan akhir puasa ( dan penetapan Idul Adha ). Bahkan terkadang perbedaan itu terjadi antara kampung-kampung berdekatan.” (Tempo, 26 Maret 1994).
Tetapi di balik permasalahan-permasalahan tersebut, tentunya tersimpan banyak sekali cerita lucu. Cerita-cerita lucu tersebut ada kalanya nyata, dan ada pula yang fiktif. Sebagian dari cerita-cerita tersebut akan saya sajikan dalam tulisan di bawah ini.
Cerita ini saya buat pada tahun 2009 yang lalu dan ini merupakan salah satu tugas konyol yang diberikan oleh salah satu dosen kepada kami, mahasiswa baru semester baru pada waktu itu. Dua tahun kemudian baru sempat saya posting. Semoga menghibur.

 Awal puasa belakangan, Idul Fitrinya duluan.
Tersebutlah seorang pemuda bernama Romi. Dia adalah pemuda yang pas-pasan. Mulai dari tampang, kantong, maupun ketaatan dalam beragama.
Suatu kali, ketika datang bulan Ramadhan, seperti biasa muncul perbedaan mengenai penentuan awal Ramadhan. Salah satu ormas islam menetukan awal Ramadhan katakanlah pada hari Ahad dan ormas yang lain menentukan hari Senin. Hal ini tentunya membuat bingung kebanyakan orang, termasuk Romi.
Tetapi dasar Romi, maunya pingin makan terus. Akhirnya dia memilih menjalankan puasa pada hari Senin.
Karena pada penentuan awal Ramadhan sudah terdapat perbedaan, maka penentuan hari raya Idul fitri pun juga terjadi perbedaan. Tahun ini ada dua hari raya. Tetapi pada tahun ini, para ormas islam ini tidak menggunakan Istikmal. Jadi jumlah hari puasa adalah 29 hari.
Tentu seperti pada awal Ramadhan, hal ini juga membuat bingung masyarakat, termasuk Romi. Tetapi lagi-lagi dasar Romi, kalau ketika awal Ramdhan kemarin dia ikut puasa yang belakangan, Idul Fitrinya dia ikut yang lebih duluan. Alasannya, “Aku kan cuma ikut-ikutan. Kalau dosa ada yang nanggung. Katanya kan kalau kita beribadah disuruh ambil yang lebih mudah.” Tapi Romi, jumlah puasamu kan tidak genap satu bulan. Sama aja boong.
Masih mending Romi daripada Sule. Bagi Sule, mau awal Ramadhan kapan pun terserah, wong dia tidak pernah puasa he….he…… Tapi anehnya kalau pas Idul Fitri walaupun ada dua Idul Fitri dia ikut kedua-duanya. Aneh.

Mrema’ terus………….
Ternyata perbedaan penentuan hari raya juga berdampak pada bidang ekonomi. Tidak percaya? Di bawah ini ada cerita mengenai dampak perbedaan penentuan hari raya di bidang ekonomi.
Seperti yang kita ketahui, ada tradisi yang berlaku di masyarakat kita bahwa sebelum hari raya lebaran mereka biasanya berbondong-bondong ke pasar untuk berbelanja keperluan lebaran. Ini bisa dilihat dari pasar-pasar yang ramai setiap menjelang lebaran. Tentu saja hal ini dimanfaatkan para pedagang untuk mrema. Ketika pembeli sedang banyak-banyaknya, mereka akan menaikkan harga jual dagangannya.
Sama seperti cerita di atas, tahun ini pun terjadi perbedaan penentuan hari raya. Ada dua hari raya pada tahun ini. Jumlah pengikut madzhab masing-masing berimbang. Seperti kebenyakan pedagang, Pak Pri yang sehari-hari berjualan ayam di pasar Karangayu juga memenfaatkan momen sebelum lebaran ini untuk mrema dagangannya. Pada H-1, banyak pembeli yang membeli ayamnya untuk hidangan lebaran. Karena hari rayanya ada dua, maka H-1nya pun ada dua. Jadi Pak Pri mrema dua kali. Mungkin pikir Pak Pri, “Andai saja lebarannya ada banyak, pasti saya bisa mrema terus nih, untung besar……”

Khotbah double.
Tersebutlah seorang Dai kondang bernama Ustadz Rijal. Ketenaran Ustadz Rijal ini konon sampai seantero propinsi karena dia Dai yang ulung. Beliau sering diundang untuk mengisi pengajian, taushiyah, khotbah, dll.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ramadhan tahun ini Ustadz Rijal kebanjiran order ceramah. Setiap hari, pasti dia mengisi pengajian minimal tiga kali. Tidak hanya pengajian di bulan Ramadhan, permintaan untuk Khotbah Idul Fitri pun sudah ada semenjak awal Ramadhan. Tetapi Ustadz Rijal memilih memenuhi permintaan Khotbah orang yang pertama kali menemuinya.
Awal Ramadhan tahun ini terjadi perbedaan. Salah satu oramas islam menentukan lebih awal dan ormas yang lain belakangan. Ustadz Rijal menduga bahwa lebaran tahun ini pasti juga beda. Makanya, beliau memenuhi dua permintaan khotbah Idul Fitri, satu dari ormas islam A dan satunya ornas islam B.
Benar saja, Idul Fitri pun terjadi perbedaan. Ustadz Rijal pun dua kali khotbah Idul Fitri. Sehari di sini dan sehari di sana. Tetapi ketika Ustadz Rijal ditanya, anda ikut lebaran yang mana? Beliau menjawab saya ikut yang awal. Ketika ditanya mengapa anda Khotbah dua kali? Jawabannya enteng, “Saya kan cuma memenuhi undangan. Memenuhi undangan kan wajib.” Enak saja……….

Shalat Tarawih di Malam Lebaran.
Beginilah kalau di negara kita tercinta ini belum ada solusi yang menyatukan persepsi mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan, sehingga untuk mengambil keputusan dalam siding itsbat membutuhkan waktu yang sangat lama. Seperti yang terjadi pada sidang itsbat yang menentukan akhir Ramadhan 1430 H tahun ini. Proses permufakatan dalam sidang itsbat berlangsung lama. Hal ini disebabkan karena masing-masing peserta siding itsbat yang diwakili oleh ormas-ormas islam memiliki persepsi yang berbeda.
Ditambah pula proses rukyah di berbagai daerah di Indonesia yang belum menemukan hilal, kecuali dua daerah di Indonesia yakni Masjid Agung Jawa Tengah dan Pelabuhan Ratu Jawa Barat. Informasi mengenai terlihatnya hilal itupun datang terlambat. Hal ini sangat disayangkan, mengingat ini adalah era globalisasi di mana setiap informasi dapat disampaikan dan diakses kapan pun dan di mana pun. Mengapa ketika mereka melaksanakan rukyah tidak disiarkan langsung saja melalui televisi, meskipun itu televisi lokal ataupun nasional.
Proses penetapan yang agak terlambat ini tentu berdampak pada masyarakat. Mereka bingung, kapan lebarannya? Diantara mereka banyak yang yakin bahwa besok masih puasa, sehingga setelah mereka melaksanakan jamaah sholat Isya’ dilanjutkan dengan jamaah sholat Tarawih.
Lucunya berita mengenai keputusan sidang itsbat datang ketika mereka tengah melaksanakan sholat tarawih dan sudah mendapat 2 raka’at. Akhirnya, mereka yang tengah melaksanakan sholat tarawih membubarkan diri setelah mendengar masjid lain sudah mengumandangkan takbir. Salah satu dari mereka nyeletuk, “Wah, kok ada ya sholat tarawih di malam takbiran?” Ada juga yang bilang, “Biasanya lebaran tu habis maghrib, ini kok habis Isya? Lebarannya diundur ya?”.

Chusainul Adib_2009

Selasa, 09 Agustus 2011

Gerhana Bulan 16 Juni 2011

Bagi yang ingin melihat foto-foto gerhana bulan 16 Juni 2011 yang lalu, silakan klik di sini!!
Ada videonya juga lho.... check it out di sini...

Rabu, 09 Maret 2011

Permasalahan Manusia terkait Kependudukan dan Lingkungan Hidup

A.    Permasalahan Jumlah Penduduk dan Solusinya
Keseimbangan penduduk dengan daya dukung dan daya tampung sudah dipersoalkan sejak dahulu oleh para filosof Cina, Yunani dan Arab, seperti Confucius, Plato, Aristoteles maupun Kalden. Bencana kelaparan (famine), dan kematian langsung dikaitkan dengan faktor ketidak-seimbangan jumlah penduduk dengan potensi lingkungan alam, khusus penyediaan bahan makanan. Sebagaimana dicetuskan oleh Malthus dalam teorinya yang mengatakan bahwa populasi manusia bertambah lebih cepat daripada produksi makanan, sehingga menyebabkan manusia bersaing satu sama lain untuk memperebutkan makanan dan menjadikan perbuatan amal sia-sia[1].
Sekitar dua abad lampau permasalahan kependudukan dan lingkungan dipersoalkan lagi oleh L. John Graunt, William Path dan TR Malthus. Malthus sudah tegas mempersoalkan tentang kekeringan, banjir, bahaya kelaparan, wabah penyakit, yang disebut positive checks, terjadi sebagai akibat ketidak-seimbangan pertambahan jumlah penduduk dan lingkungan alam. Malthus yakin bahwa manusia akan tetap hidup miskin/melarat dan berakhir dengan kematian, selama terjadi ketidak-seimbangan jumlah penduduk dengan daya dukung lingkungan, khususnya ketidak-seimbangan jumlah penduduk dengan persediaan bahan makanan. Keseimbangan penduduk dengan daya dukung dan daya tampung sudah dipersoalkan sejak dahulu oleh para filosof Cina, Yunani dan Arab, seperti Confucius, Plato, Aristoteles maupun Kalden. Bencana kelaparan (famine), dan kematian langsung dikaitkan dengan faktor ketidak-seimbangan jumlah penduduk dengan potensi lingkungan alam, khusus penyediaan bahan makanan.
Teori Malthus jelas menekankan tentang pentingnya keseimbangan pertambahan jumlah penduduk menurut deret ukur terhadap persediaan bahan makanan menurut deret hitung. Teori Malthus tersebut sebetulnya sudah mempersoalkan daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan. Tanah sebagai suatu komponen lingkungan alam tidak mampu menyediakan hasil pertanian untuk mencukupi kebutuhan jumlah penduduk yang terus bertambah dan makin banyak. Daya dukung tanah sebagai komponen lingkungan menurun, karena beban manusia yang makin banyak[2].
Jumlah penduduk yang terus bertambah mencerminkan pula makin padat jumlah penduduk tiap 1 km2, dapat mempercepat eksploitasi sumberdaya alam dan mempersempit persediaan lahan hunian dan lahan pakai. Dengan kata lain jumlah penduduk yang terus bertambah dan makin padat sangat mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Jumlah penduduk harus seimbang dengan batas ambang lingkungan, agar tidak menjadi beban lingkungan atau mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan, dengan menampakkan bencana alam berupa banjir, kekeringan, gagal panen, kelaparan, wabah penyakit dan kematian.
Kelahiran dan kematian sebagai peristiwa-peristiwa vital mengatur keseimbangan penduduk dengan potensi alamnya. Makin padat jumlah penduduk dalam jangka pendek, jangka sedang atau jangka panjang akan mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Di daerah-daerah padat penduduk gangguan keseimbangan lingkungan (daya dukung dan daya tampung) disebabkan oleh permintaan yang makin meningkat terhadap berbagai potensi lingkungan, walaupun konsumsi perkapita rendah.
Beberapa solusi masalah kependudukan[3]:
a.       Swadesi
Swadesi artinya daerah sendiri. Artinya rakyat memulai dengan menanam kapas sendiri, memintal benang, menenun sendiri. Implikasinya adalah mereka akan sangat menghargai hasil karya sendiri dan tidak mau membeli produk-produk buatan luar. Istilah Pak Bibit Waluyo (Gubernur Jateng) : Bali nDeso mBangun Deso.
b.      Pembatasan laju penduduk (genta terbalik)
Pertumbuhan penduduk ideal adalah perumbuhan yang mampu mempertahankan rasio penyangga perekonomian (kelompok usia produktif) agar proporsional yang dengan beban yang disangganya (kelompok muda dan tua). Pembatasan laju dapat dilakukan dengan program KB (keluarga berencana).
c.       Migrasi penduduk
Yaitu perpindahan penduduk dari  pulau yang padat menuju pulau yang masih lapang untuk meningkatkan derajat hidup manusia.
d.      Pola tanam
Pola tanam diharapkan dapat menjamin kecukupan pangan dan penganekaragaman pangan, sumber energi. Sehingga mampu mengurangi ketergantungn terhadap bahan-bahan impor.
B.     Permasalahan Ketahanan Pangan dan Solusinya:
Konsep ketahanan pangan di Indonesia berdasar pada Undang-Undang RI nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana setiap individu dan rumahtangga memiliki akses secara fisik, ekonomi, dan ketersediaan pangan yang cukup, aman, serta bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat. Selain itu aspek pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara merata dengan harga yang terjangakau oleh masyarakat juga tidak boleh dilupakan[4].         
Pada prakteknya, permasalahan ketahanan pangan di Indonesia masih terus terjadi, masalah ini mencakup empat aspek:
1.      Aspek produksi dan ketersediaan pangan.
           Ketahanan pangan menghendaki ketersediaan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk dan setiap rumah tangga. Dalam arti setiap penduduk dan rumah tangga mampu untuk mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup. Permasalahan aspek produksi diawali dengan ketidakcukupan produksi bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Hal ini disebabkan oleh laju pertumbuhan produksi pangan yang relatif lebih lambat dari pertumbuhan permintaannya. Permasalahan ini akan berpengaruh pada ketersediaan bahan pangan. Ketersediaan bahan pangan bagi penduduk akan semakin terbatas akibat kesenjangan yang terjadi antara produksi dan permintaan. Selama ini, permasalahan ini dapat diatasi dengan impor bahan pangan tersebut. Namun, sampai kapan bangsa ini akan mengimpor bahan pangan dari luar? Karena hal ini tidak akan membuat bangsa ini berkembang. Sebaliknya akan mengancam stabilitas ketahanan pangan di Indonesia dan juga mengancam produk dalam negeri.
2.      Aspek distribusi.
Permasalahan di dalam permbangunan ketahanan pangan adalah distribusi pangan dari daerah sentra produksi ke konsumen di suatu wilayah. Distribusi adalah suatu proses pengangkutan bahan pangan dari suatu tempat ke tempat lain, biasanya dari produsen ke konsumen. Berikut ini merupakan ilustrasi yang menggambarkan permasalahan distribusi pangan di Indonesia.
3.      Aspek konsumsi.
Permasalahan dari aspek konsumsi diawali dengan suatu keadaan dimana masyarakat Indonesia memiliki tingkat konsumsi yang cukup tinggi terhadap bahan pangan beras. Berdasarkan data tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap beras sekitar 134 kg per kapita. Walaupun kita menyadari bahwa beras merupakan bahan pangan pokok utama masyarakat Indonesia. Keadaan ini dapat mengancam ketahanan pangan negara kita. Jika kita melihat bahwa produksi beras Indonesia dari tahun ke tahun yang menurun tidak diimbangi dengan tingkat konsumsi masyarakat terhadap beras yang terus meningkat. Walaupun selama ini keadaan ini bisa teratasi dengan mengimport beras.
Pola konsumsi masyarakat terhadap suatu bahan pangan sangat dipengaruhi oleh dua faktor, diantaranya : tingkat pengetahuan masyarakat tersebut terhadap bahan pangan atau makanan yang dikonsumsi dan pendapatan masyarakat. Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap bahan pangan juga sangat mempengaruhi pola konsumsi masyarakat tersebut. Apabila suatu masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup mengenai bahan pangan yang sehat, bergizi, dan aman untuk dikonsumsi. Maka masyarakat tersebut tentunya akan lebih seksama dalam menentukan pola konsumsi makanan mereka.
4.      Aspek kemiskinan.
Ketahanan pangan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh aspek kemiskinan. Kemiskinan menjadi penyebab utamanya permasalahan ketahanan pangan di Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan tingkat pendapatan masyarakat yang dibawah rata-rata sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Tidak tercukupi pemenuhan kebutuhan masyarakat dikarenan daya beli masyarakat yang rendah juga akan mempengaruhi tidak terpenuhinya status gizi masyarakat. Tidak terpenuhinya status gizi masyarakat akan berdampak pada tingkat produktivitas masyarakat Indonesia yang rendah. Status gizi yang rendah juga berpengaruh pada tingkat kecerdasan generasi muda suatu bangsa. Oleh karena itu daptlah kita lihat dari tahun ke tahun kemiskinan yang dikaitkan dengan tingkat perekonomian, daya beli, dan pendapatan masyarakat yang rendah sangat berpengaruh terhadap stabilitas ketahanan pangan di Indonesia.
Dari berbagai aspek permasalahan di atas, sebenarnya ada beberapa solusi yang dapat dilakukan agar memiliki ketahanan pangan yang baik. Diantara solusi tersebut ialah:
1.      Diversifikasi pangan.
Diversifikasi pangan adalah suatu proses pemanfaatan dan pengembangan suatu bahan pangan sehingga penyediaannya semakin beragam. Latar belakang pengupayaan diversifikasi pangan adalah melihat potensi negara kita yang sangat besar dalam sumber daya hayati. Indonesia memiliki berbagai macam sumber bahan pangan hayati terutama yang berbasis karbohidrat. Setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik bahan pangan lokal yang sangat berbeda dengan daerah lainnya. Diversifikasi pangan juga merupakan solusi untuk mengatasi ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap satu jenis bahan pangan yakni beras.
2.      peningkatan pendapatan in situ (income generating activity in situ).
Peningkatan pendapatan in situ bertujuan meningkatan pendapatan masyarakat melalui kegiatan pertanian berbasis sumber daya lokal. Pengertian dari in situ adalah daerah asalnya. Sehingga kegiatan peningkatan pendapatan ini dipusatkan pada daerah asal dengan memanfaatkan sumber daya lokal setempat. Kegiatan ini dapat mengikuti permodelan klaster dimana dalam penerapannya memerlukan integrasi dari berbagai pihak, diantaranya melibatkan sejumlah besar kelompok petani di beberapa wilayah sekaligus. Kegiatan ini juga harus melibatkan integrasi sproses hulu-hilir rantai produksi makanan.
C.    Masalah Ketenagakerjaan Dan Solusinya
            Dengan adanya pertumbuhan penduduk yang pesat menimbulkan bebarapa masalah, salah satunya adalah masalah ketengakerjaan, karena bila manusia tidak bekerja, dari mana dapat mendapatkan sandang, pangan dan papan yag tak lain adalah kebutuhan primer.
Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan keahlian tenaga kerja dan peran sertanya untuk pengingkatan perlindungan tenaga kerja beserta keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat manusia.
Menurut pasal 1 UU No.13 tahun 2003, Tenaga kerja adalah sebagai setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa dan ketenagakerjaan sebagai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Menempatkan tenaga kerja sebagai unsur utama kehidupan bangsa dan Negara ini sehingga maju-mundurnya bangsa dan Negara ini sebenarnya bergantung pada maju-mundurnya tenaga kerja.[5]
Merunut pada kenyataan, maka permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Yaitu dengan jumlah penduduk Indonesia yang sebesar 230 juta orang maka yang menjadi tenaga kerja adalah 160 juta dengan jumlah angkatan kerja (AK) 105 juta orang. Dari jumlah AK ini, sebanyak 90 juta bekerja dan 15 juta menganggur.[6] Pertambahan AK secra alami setiap tahun diperkirakan 1,6 juta sampai 2,4 juta sehingga dengan pertumbuhan ekonomi yang masih rendah (4 %-5%) jumlah penganggur diperkirakan masih terus bertambah karena terbatasnya keselamatan kerja yang dapat diciptakan dan banyaknya PHK.
Beberapa masalah ketenagakerjaan dan solusinya antara lain, soal pengangguran yang selama puluhan tahun hingga saat ini belum dapat disentuh secara nyata. Angka pengangguran tetap sekitar puluhan juta setiap tahun dan tiga puluh jutaan setengah penganggur. Karena itu, pada masa yang akan datang, perlu diupayakan program solusi pengangguran dan pendekatan pemberdayaan penganggur, bahkan angkatan kerja, menurut kualifikasi dan sebagaimana mereka adanya.
Penciptaan lapangan kerja sebagai kegiatan ekonomi belum optimal. Iklim investasi di Indonesia masih belum kondusif. Di samping itu, sering penciptaan lapangan kerja tidak dapat diisi oleh para penganggur atau angkatan kerja Indonesia, sehingga harus diisi oleh tenaga kerja asing. Untuk itu perlu segera diupayakan pengembangan seluruh potensi sumber daya alam Indonesia.
Strategi pembangunan nasional Indonesia selama ini salah kaprah yang mengakibatkan penderitaan rakyat karena miskin dan menganggur. Juga perlu dikaji lagi pembangunan industri di Pulau Jawa apakah lebih banyak untung atau ruginya. Sebagian besar petani di Pulau Jawa memiliki sedikit lahan pertanian, bahkan tidak memiliki sama sekali, padahal statusnya sebagai petani. Semestinya, seluruh kekayaan alam Indonesia dapat dikembangkan untuk menyejahterakan rakyat, tanpa harus menjadi negara industri.[7]
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan mampu mendorong penerbitan kebijakan pembangunan ekonomi yang dapat mengurangi jumlah pengangguran. Selain itu, pemerintah harus dapat mendorong perluasan kesempatan kerja melalui kebijakan fiscal, moneter, investasi, perdagangan dan industri. Mengubah paradigma penempatan tenaga kerja asing dari alih teknologi dan pendampingan pun juga diharapkan mampu membawa perubahan bagi bangsa. Hal ini menjadi salah satu upaya dalam menciptakan kesempatan tenaga kerja Indonesia.
Berbagai permasalahan lain terkait dengan kependudukan dan LH
Permasalahan-permasalahan terkait dengan kependudukan dan lingkungan hidup tidak hanya berkisar pada masalah-masalah di atas. Masih banyak permasalahan-permasalahan lain yang berhubungan dengan lingkungan hidup akibat dari pertambahan penduduk. Permasalahan-permasalahan itu meliputi segala bidang, mulai dari kesehatan, tempat tinggal, sosial dan lain-lain.
Jumlah penduduk yang makin meningkat menyebabkan kebutuhan yang makin meningkat pula. Hal ini berdampak negatif pada lingkungan, yaitu:
1. Makin berkurangnya ketersediaan air bersih. Manusia membutuhkan air bersih untuk keperluan hidupnya. Pertambahan penduduk akan menyebabkan bertambahnya kebutuhan air bersih. Hal ini menyebabkan persediaan air bersih menurun. Solusinya adalah dengan menghemat penggunaan air dan berupaya membuat sumur resapan dan reboisasi tanaman sehingga bisa menjaga ketersediaan cadangan air tanah.
2. Pertambahan penduduk juga menyebabkan arus mobilitas meningkat. Akibatnya, kebutuhan alat tranportasi meningkat dan kebutuhan energi seperti minyak bumi meningkat pula. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran udara dan membuat persediaan minyak bumi makin menipis. Solusinya adalah dengan menyediakan alat transportasi massal yang bisa menghemat penggunaan bahan bakar dan mengurangi polusi udara yang disebabkan oleh banyaknya kendaraan bermotor.
3. Bertambahnya penduduk juga berarti bertambahnya kebutuhan. Bertambahnya kebutuhan berarti bertambahnya penyedia kebutuhan itu. Maka berdirilah industri-industri yang menghasilkan barang pemenuh kebutuhan. Bertambahnya industri ini akan berpengaruh pada ketenagakerjaan dan masalah limbah.
4. Meningkatnya jumlah penduduk berarti juga peningkatan produksi sampah harian atau limbah. Limbah-limbah itu ada kalanya berupa sampah biologis manusia (feces), sampah rumah tangga, pertanian, industri, transportasi, dan lain-lain. Sampah-sampah tersebut merupakan sumber polusi, baik polusi tanah, air, maupun udara dan ini sangat berpengaruh pada kesehatan.
Sampah yang berasal dari proses metabolisme tubuh manusia yang tidak ditangani dengan baik bisa menimbulkan masalah kesehatan serius. Kotoran manusia yang tidak terurus dengan baik menyebabkan berbagai macam penyakit, seperti diare, kolera dan lain-lain. Kotoran manusia hendaknya dibuang dalam septic tank yang jauh dari sumber air (-+ 10 m) karena jika terlalu dekat dikhawatirkan akan meresap dan mencemari sumber air tersebut.
Sampah rumah tangga juga berpotensi menimbulkan polusi. Sampah rumah tangga biasanya berasal dari sampah dapur, sabun dan sampah-sampah lain. Produksi sampah rumah tangga suatu kota bisa mencapai 3 ton setiap hari, sehingga jika tidak ditangani dengan serius, maka akan menimbulkan masalah. Solusi untuk mencegah timbulnya masalah yang timbul karena adanya limbah rumah tangga adalah dengan memisahkan terlebih dahulu antara sampah organik dan sampah non organik. Sampah organik bisa diolah menjadi pupuk organik yang dapat digunakan untuk memupuk tanaman dan bahkan bisa bernilai jual. Sampah non organik pun bisa diolah menjadi bahan berguna lewat proses daur ulang. Dengan proses daur ulang ini diharapkan bisa menguarangi potensi pencemaran lingkungan akibat limbah rumah tangga.
Limbah pertanian yang biasanya berupa sisa pestisida dan pupuk kimia bisa menyebabkan peningkatan keasaman pada tanah. Hal ini berpengaruh pada kesuburan tanah untuk masa ke depannya. Solusi untuk menanggulangi hal ini adalah kembali pada penggunaan pupukm organik. Pupuk organik tidak memiliki efek samping pada kesuburan tanah untuk masa-masa selanjutnya.
Limbah industri biasanya berasal dari pabrik-pabrik. Limbah ini ada yang berupa limbah padat, cair dan limbah udara. Potensi pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh limbah industri ini barangkali lebih besar daripada limbah rumah tangga. Limbah cair yang dibuang oleh pabrik secara langsung ke sungai bisa menyebabkan rusaknya ekosistem sungai. Pemerintah telah membuat peraturan tentang kewajiban adanya Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) bagi setiap pabrik. Hal ini untuk mencegah kerusakan lingkungan akibat limbah cair industri. Untuk limbah udara, pabrik harus membuat cerobong asap yang tinggi untuk mencegah polusi udara, walaupun ini sama saja tetap akan berpengaruh pada lapisan gas rumah kaca.
Pertambahan penduduk selayaknya harus diimbangi dengan perawatan lingkungan hidup sehingga tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.

PENUTUP
            Dengan semakin banyaknya pertumbuhan penduduk semakin bertambah permasalahan dalam memenuhi kebutuhan mereka. Namun dengan beberapa solusi yang disebutkan di atas, permasalahan tentang jumlah penduduk akan teratasi. Sehingga permasalahan jumlah penduduk tidaklah seberapa, yang menjadi permasalahan baru setelah permasalahan jumlah penduduk terselesaikan, yaitu dalam memenuhi kebutuhan yang diakibatkan oleh kemajuan peradaban mereka. Sehingga dalam memenuhi kebutuhan mereka, beresiko merusak lingkungan yang sangat perlu dilestarikan sebagai penyeimbang di bumi.    Oleh karena itulah dibutuhkan solusi-solusi baru untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.
            Kami sangat berharap apa yang telah kami uraikan di atas, bisa bermanfaat bagi saudara-saudara sekalian, dan akan sangat bahagia sekali jika makalah ini bisa membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia.  Semoga bermanfaat !

DAFTAR PUSTAKA
Purnama, Heru. 1997. Ilmu Alamiah Dasar.Jakarta: PT Rineka Cipta, cet 1.
Sarjana, Teysar Adi.  Handout Mata Kuliah Ilmu Alamiah Dasar, 2009.Semarang :Universitas Diponegoro
http://ba2s-breeder.blogspot.com/2009/06/teori-malthus.html. diunduh pada tanggal 28 mei 2010
http://pangan.site90.com. diunduh pada tanggal 28 mei 2010
http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=13209  diunduh pada tanggal 28 mei 2010
http://www.suarapembaruan.com/News/2009/06/05/Editor/edit02.htm diunduh pada tanggal 29 mei 2010



[1] http://ba2s-breeder.blogspot.com/2009/06/teori-malthus.html.
[2] Ibid.
[3] Teysar Adi Sarjana, Handout Mata Kuliah Ilmu Alamiah Dasar, 2009.
[4] http://pangan.site90.com/
[5] http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=13209
[6] Ibid.
[7] http://www.suarapembaruan.com/News/2009/06/05/Editor/edit02.htm