“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulnya
dan para pemegang pemerintahan. Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu
hal, maka kembalikanlah urusan itu pada Allah (al-Quran) dan Rasulnya (sunnah)
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa: 59)
“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat
selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan sunnah Rasulullah
Saw”. (HR. Muslim)
Perbedaan dalam masalah agama adalah suatu keniscayaan. Karakter agama yang universal harus bisa menyesuaikan diri dalam konteks waktu dan tempat. Perbedaan ini pada tataran akademis adalah hal yang wajar dan diperbolehkan, namun jika menimbulkan fanatisme yang pada akhirnya menimbulkan perpecahan, bahkan permusuhan, maka hal inilah yang tidak diperbolehkan. Dalam bahasa agama, perbedaan diistilahkan dengan “ikhtilaf” dan kadang disebut dengan “khilaf”. Keduanya memiliki arti yang sama, yakni adamul ittifaq artinya tiadanya kesepakatan dalam suatu hal.
Ikhtilaf ini ada beberapa macam, yaitu :
1. Ikhtilaf Tanawwu’, yakni perbedaan pendapat yang hanya bersifat
variatif, antara satu dengan yang lain tidak saling bertentangan, hanya memiliki
wajah yang berbeda. Misalnya macam-macam versi tentang doa iftitah, macam-macam
cara gerakan sholat, dan lain-lain. Biasanya ikhtilaf tanawwu’ ini hanya
terjadi pada masalah furu’iyyah (cabang), bukan pada masalah yang ushuliyyah
(prinsipil). Dalam ikhtilaf ini tidak ada pendapat yang salah karena
masing-masing punya landasan yang shohih.
2. Ikhtilaf Tadhod, yakni perbedaan pendapat yang antara satu
pendapat dengan pendapat yang lain saling bertentangan. Misalnya perbedaan
pendapat dalam menghukumi suatu makanan tertentu, apakah ini halal atau haram.
3. Ikhtilaf al-Afham, yakni perbedaan pendapat yang disebabkan oleh
perbedaan pemahaman dan sudut pandang Ulama dalam memandang dan memahami suatu
masalah.
Ada beberapa sebab munculnya perbedaan pendapat dalam hal agama.
Sebab-sebab itu adakalanya bersifat wajar, karena memang suatu keniscayaan yang
tidak bisa dihindari