Powered By Blogger

Sabtu, 26 Januari 2013

Lebih Bijak dalam Menghadapi Perbedaan

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulnya dan para pemegang pemerintahan. Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu hal, maka kembalikanlah urusan itu pada Allah (al-Quran) dan Rasulnya (sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa: 59)
“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan sunnah Rasulullah Saw”. (HR. Muslim)


           Perbedaan dalam masalah agama adalah suatu keniscayaan. Karakter agama yang universal harus bisa menyesuaikan diri dalam konteks waktu dan tempat. Perbedaan ini pada tataran akademis adalah hal yang wajar dan diperbolehkan, namun jika menimbulkan fanatisme yang pada akhirnya menimbulkan perpecahan, bahkan permusuhan, maka hal inilah yang tidak diperbolehkan. Dalam bahasa agama, perbedaan diistilahkan dengan “ikhtilaf” dan kadang disebut dengan “khilaf”. Keduanya memiliki arti yang sama, yakni adamul ittifaq artinya tiadanya kesepakatan dalam suatu hal.

Ikhtilaf ini ada beberapa macam, yaitu :
1. Ikhtilaf Tanawwu’, yakni perbedaan pendapat yang hanya bersifat variatif, antara satu dengan yang lain tidak saling bertentangan, hanya memiliki wajah yang berbeda. Misalnya macam-macam versi tentang doa iftitah, macam-macam cara gerakan sholat, dan lain-lain. Biasanya ikhtilaf tanawwu’ ini hanya terjadi pada masalah furu’iyyah (cabang), bukan pada masalah yang ushuliyyah (prinsipil). Dalam ikhtilaf ini tidak ada pendapat yang salah karena masing-masing punya landasan yang shohih.
2. Ikhtilaf Tadhod, yakni perbedaan pendapat yang antara satu pendapat dengan pendapat yang lain saling bertentangan. Misalnya perbedaan pendapat dalam menghukumi suatu makanan tertentu, apakah ini halal atau haram.
3. Ikhtilaf al-Afham, yakni perbedaan pendapat yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman dan sudut pandang Ulama dalam memandang dan memahami suatu masalah.

Ada beberapa sebab munculnya perbedaan pendapat dalam hal agama. Sebab-sebab itu adakalanya bersifat wajar, karena memang suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari
, dan adakalanya harus dihindari karena efek yang bisa timbul akibat hal ini.

Di antara sebab-sebab munculnya perbedaan pendapat adalah sebagai berikut :
1. Kekuasaan Allah dalam menciptakan manusia sangat bervariasi, tidak hanya bervariasi secara fisik, namun juga bervariasi secara pemikiran. Variasi manusia dalam hal pemikiran inilah yang menyebabkan munculnya perbedaan. Variasi pemikiran ini dipengaruhi oleh tingkat pemahaman, cara pandang dan sebarapa banyak informasi (dalil) yang dia dapat.
2. Tabiat agama islam itu sendiri yang memang  menghendaki perbedaan. Sumber hukum islam yang berupa al-Quran dan Hadits diturunkan dalam bentuk global. Hukum yang terdapat dalam kedua sumber hukum tersebut multitafsir. Mengapa al-Quran diturunkan secara global? Supaya al-Quran itu fleksibel, bisa digunakan pedoman dalam situasi zaman kapanpun dan dimanapun.
3. Kedua sumber hukum islam diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, banyak sekali kalimat-kalimat yang isytirok, mempunyai banyak arti, misal perbedaan arti quru’ dalam masa iddah perempuan yang dicerai. Quru’ bisa berati masa suci dn bisa juga masa haid. Perbedaan dalam mengartikan kata quru’ ini menyebabkan perbedaan masa iddah perempuan.
4. Lingkungan, ada kaidah fiqh yang menyatakan taghayyurul ahkam bi taghayyuri al-amkinah wa al-azminah. Hukum itu fleksibel, mengikuti seting tempat dan waktu. Kita tahu bahwa dalam madzhab Syafi’i ada qaul qadim dan qaul jadid.  Hal ini disebabkan oleha perbedaan lingkungan di mana Imam Syafi’i mengeluarkan qaul qadim dan qaul jadid.

Diantara sebab-sebab perbedaan pendapat yang harus dihindari adalah :
1. Sifat dengki dan sombong. Kedua sifat ini dapat menutup hati dari menerima kebenaran dari orang lain.
2. Fanatisme.

Perbedaan pendapat juga pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, di mana pada waktu itu Rasulullah beserta rombongan sahabatnya hendak menyerang perkampungan Yahudi yang melanggar perjanjian dengan umat islam, yakni Bani Quraydhah. Dalam perjalanan, Rasulullah berpesan kepada para sahabat agar jangan sholat ashar dulu sebelum sampai di perkampungan Bani Quraydhah itu. Maksud nabi ini adalah agar mereka cepat sampai tujuan dan segera sholat ashar. Dalam perjalanan, para sahabat terbagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama adalah orang-orang yang mematuhi perintah nabi untuk tidak sholat ashar dulu sebelum sampai di kampung Bani Quraydhah. Kelompok yang kedua adalah para sahabat yang sholat ashar di perjalanan karena melihat waktu ashar sudah hampir habis. Ketika hal ini diutarakan kepada nabi, beliau tidak menyalahkan masing-masing pihak. Menurut nabi, kedua pihak ini benar, karen sesuai ijtihadnya masing-masing.
Kadang, perbedaan pendapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi, jika kita tahu apa sebenarnya perbedaan itu sendiri dan bagaimana sikap kita dalam menghadapi perbedaan itu. Perbedaan adalah sunnatullah, perbedaan adalah rahmat jika kita menyikapinya dengan bijak.
Bagaimana sikap kita dalam menghadapi perbedaan? Pada intinya toleransi dan menghormati pendapat orang lain adalah kunci dalam menghadapi perbedaan. Sikap toleransi dalam menghadapi perbedaan ditunjukkan oleh Imam Syafi’i kepada Imam Ahmad. Imam Syafi’i adalah ulama yang berpendapat bahwa doa qunut adalah salah satu sunnah ab’adl dalam sholat subuh. Tingkatannya sama dengan tahiyyat awal dalam setiap sholat. Namun, sebaliknya Imam Ahmad adalah ulama yang berpendapat bahwa doa qunut bukan merupakan sunnah dalam sholat. Suatu ketika, Imam Syafi’i yang diundang dalam majlis Imam Ahmad diminta menjadi imam sholat subuh. Pada saat menjadi imam sholat, Imam Syafi’i tidak membaca doa qunut. Ketika ditanya mengapa Imam Syafi’i tidak membaca doa qunut, padahal menurut beliau doa qunut itu sunnah ab’adl. Jawaban beliau adalah karena baliau menghormati pendapat Imam Ahmad yang menyatakan bahwa doa qunut itu bukan sunnah ab’adl. Inilah salah satu contoh sikap dalam menghadapi perbedaan pendapat.
Sikap kita yang lain adalah membuang jauh-jauh sifat fanatisme dan kesombongan. Kedua sifat ini hanya membuat kita merasa paling benar. Jika kita sudah merasa paling benar, maka kita mudah menyatakan orang selain kita salah besar. Orang yang sudah diliputi sifat ini akan sulit menerima kebenaran.
Pada intinya, jangan merasa benar. Perbedaan adalah wajar. Jangan menganggap orang lain yang tidak sependapat dengan kita salah besar. Ingat, bahwa kebenaran tidak melalui satu pintu. Ia datang melalui beberapa pintu. Jika terjadi pertentangan, maka seperti ayat al-Quran dan Hadits yang tertulis di atas tadi, kembalikanlah urusan dan kebenaran pada al-Quran dan Hadits.

Chusainul Adib
Disarikan dari Materi ”al-Ikhtilafu wa Adabuhu” oleh Ust. Diding Darmudi, Lc (IKADI)
Pada pengajian Sabtu Sore tanggal 3 Maret 2012 di Masjid Raya Baiturrahman
Materi Khutbah Jumat Penulis pada Jumat, 15 Februari 2013 di Masjid Baiturrachim RW 4 Gisikdrono Semarang Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar