Powered By Blogger

Minggu, 03 November 2013

Daulah Khulafa' ar-Rasyidin


A.          Pengertian Khulafaur ar-Rasyidin
Menurut bahasa, kata Khulafaur ar-Rasyidiin terdiri dari dua kata, yaitu: kata khulafa, jama’ dari kata khalifah yang berarti pengganti. Jadi kata khulafa berarti para pengganti. Dengan kata lain khulafa adalah orang yang ditunjuk sebagai pengganti atau pemimpin umat Islam. Sedangkan kata Ar-Rasyidiin sendiri mempunyai arti orang-orang yang arif dan bijaksana. Dengan demikian Khulafaur ar-Rasyidiin berarti beberapa khalifah yang arif dan  bijaksana dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai penerus Nabi dalam memimpin umat Islam dengan menegakkan agama Allah dan menjalankan semua perintah-perintah-Nya.
Istilah khulafa’ ar-Rasyidin berasal dari sebuah riwayat yang disandarkan pada nabi Muhammad saw. Dalam riwayat tersebut dikatakan bahwa nabi Muhammad saw. bersabda:
“Umatku akan terpecah-pecah menjadi 73 golongan, semuanya akan ditempatkan di neraka, kecuali satu golongan saja. Apa yang satu golongan itu ? Tanya seseorang sahabat. Nabi saw menjawab; kelompok ahlussunnah wal jama’ah”. Sahabat bertanya lagi; siapa mereka? Nabi saw. Menjawab; mereka  yang taat pada sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin.”[1]
Di samping hadist tersebut, masih ada sejumlah hadist dari Nabi SAW. Yang merupakan prediksi dari zamannya. Diantara riwayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi SAW. Bersabda:
“Pemerintahan dalam bentuk khulafah (sesudahku) akan berlangsung selama 30 tahun; setelah itu akan menjadi kerajaan”
Jalal al-Din as-suyuthi mengutip pendapat ulama’ yang menjelaskan hadist tersebut dengan berkata:
“ Tiga puluh tahun sesudah nabi saw. Wafat adalah pemerintahan khalifah yang empat dan beberapa hari pemerintahan Hasan”[2].
Imam al-Bazzar meriwayatkan dari Abu Ubaidilah ibn al-Jarrah yang menyatakan bahwa nabi saw. Bersabda:
“Sesungguhnya fase awal agama kalian dimulai dengan fase kenabian dan rahmah, setelah itu fase khilafah dan rahmah, tetapi kemudian menjadi kerajaan yang penuh dengan pemaksaan.”[3]
Dalam tiga hadist tersebut terdapat dua term mengenai kepemimpinan setelah Nabi. Pertama, al-khulafa’ ar-rasyidin; dan kedua, al-khilafat. Akan tetapi, dalam sejarah pada umunya tidak terdapat penafsiran tunggal yang dimonopoli oleh ulama’ atau aliran  tertentu. Jalal al-Din telah menangkap salah satu penafsiran mengenai cakupan khilafat atau khulafa’ ar-rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali ibn Abi Thalib. Ini adalah pendapat umum yang cenderung diterima umat islam secara umum.
Terdapat sejumlah riwayat yang berbeda dengan pendapat umum tersebut. Pertama, dalam sebagian riwayat dinyatakan bahwa yang termasuk khulafa’ ar-rasyidin adalah lima, yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Abdul Aziz. Hal ini sejalan dengan perkataan Sufyan Ats-Tsauri:“Pemerintah khalifah itu lima: Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali ibn Abi Thalib dan Umar ibn Abdul Aziz” Masih banyak lagi riwayat yang berbeda yang menjelaskan bahwa al-khulafa’ ar-rasyidin itu ada lima dengan term yang berbeda-beda tetapi maknanya sama. Misalnya menggunakan term a’immat al-adl (para imam yang adil) a’immat al-huda (para pemimpin yang mendapatkan petunjuk).
Kedua, dalam sebagian riwayat dinyatakan  bahwa al-khulafa’ ar-rasyidin itu bukan lima dan juga bukan pula empat, tetapi tiga. Riwayat tersebut adalah:
“Syuhail ibn Abbas menceritakan kepadaku yang bersumber dari ibn Ishaq, Ibrahim bin Uqbah, Atha’ maula ummu Bakr al-Asalmiyah, dan Habib ibn Hind al-Islami berkata: “Sa’id ibn al-Musayyab berkata kepadaku ketika aku dan dia sedang di Arafah. Sesungguhnya khalifah itu ada tiga “ Aku bertanya: siapakah mereka? Ia menjawab : Abu Bakar, Umar, dan Umar (yakni Umar ibn Abdul Aziz) aku bertanya lagi: “Abu Bakr dan Umar aku sudah mengenalnya, tetapi Umar yang satu itu siapa? Ia menjawab “ bila engkau masih hidup, engkau akan mendapatkannya dan mengenalnya, tapi apabila engkau mati sekarang, ia akan ada setelahmu”
Riwayat-riwayat diatas menunjukkan bahwa secara tekhnis , al-khulafa’ ar-rasyidin mungkin berasal dari Nabi saw, meskipun periwayatannya cenderung dengan makna, tidak dengan lafadznya. Akan tetapi cakupan yang dikandungnya adalah ijtihad ulama’ bukan berdasarkan riwayat Nabi saw. Oleh karena itu, Ibnu al-Musayyab berpendapat bahwa khalifah yang rasyidin itu hanya tiga, yaitu Abu bakar, Umar ibn Khaththab, dan Umar ibn Abdul Aziz. Jalal al-Din as-suyuthi dan ulama’ pada umumnya berpendapat bahwa al-khulafa’ ar-rasyidin itu empat yaitu; Abu bakar, Umar ibn khatab, Ustman bin affan dan Ali ibn abi thalib ,sedang Sufyan ats sauri berpendapat bahwa al-khulafa’ ar-rasyidin itu lima : Abu bakar, Umar ibn khatab, Ustman bin affan , Ali ibn abi thalib dan Umar ibn abdul aziz. Namun dalam makalah ini pemakalah mengambil pendapat yang umumnya dikemukakan oleh para ulama’ yakni al-Khulafa’ ar-Rasyidin terdiri dari empat orang.
Daulat al-khulafa’ ar-rasyidin yang berkedudukan di Madinah berkuasa  hanya 30 tahun menurut kalender Hijriyah ataupun 29 tahun menurut kalender Masehi (11-41 H/632-661 M). Meskipun pemerintahan yang teramat singkat bukan berarti tidak memiliki pengaruh kepada kelanjutan agama islam. Sejarah mencatat masa al-khulafa’ ar-rasyidin masa yang sangat menetukan sekali bagi kelanjutan agama islam dan bagi perkembangan kekuatan agama islam.
Daulat ini bermakna dinasti, yakni kebijaksanaannya para penguasa adalah yang tertinggi namun di dalam daulat al-khulafa’ ar-rasyidin para pejabat kekuasaan tertinggi dipilih dan diangkat berdasarkan permufakatan dan persetujuan masyarakat islam dewasa itu. Dan garis kebijaksanaan yang dijalankan dapat dikatakan bersamaan.
  1. Kepemimpinan Khulafa’ ar-Rasyidin
1.    Abu Bakar as-Shiddiq (632-634 M)
a.    Biografi Abu Bakar as-Shiddiq
Nama Abu Bakar as-Shiddiq sebenarnya adalah Abdullah ibn Utsman ibn Amir ibn Ka’ab ibn Sa’ad ibn Taim ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ai ibn Ghalib ibn Fihr al-Qurasy at-Taimi. Nasabnya bertemu dengan nabi Muhammad pada kakeknya Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ai. Ayahnya diberi kunyah Abu Quhafah[4].
Beliau adalah salah satu tokoh yang pertama kali masuk islam (as-Sabiqun al-Awwalun) dari golongan pria dewasa. Gelar Abu Bakar sendiri didapat karena beliau adalah orang yang pertama kali masuk islam. Adapun gelar as-Shiddiq didapatkan karena beliau adalah orang pertama dan satu-satunya yang membenarkan peristiwa Isra’ & Mi’raj Nabi Muhammad pada waktu itu.
b.   Wafatnya Nabi dan Pengangkatan Abu Bakar Menjadi Khalifah
Berita meninggalnya nabi Muhammad beredar cepat ke seluruh Madinah. Bagi banyak orang, rasanya tidak bisa dipahami bahwa Rasulullah meninggal dunia. Umar, misalnya, tidak mau memercayainya. Ia juga begitu bingung hingga segera saja pergi ke masjid, tempat umat telah berkumpul dan karena beritan duka  itu dan mengancam akan memukul siapapun yang berani mengatakan bahwa Muhammad meninggal dunia[5].
Tugas Abu Bakarlah untuk menenangkan situasi. Sesudah melihat jenazah Muhammad dengan mata kepalanya sendiri, ia juga pergi ke masjid. Di sana ia menyaksikan Umar mengelantur tak karuan tentang Muhammad bahwa beliau masih hidup. Ia hanya tampak mati saja, Umar berteriak, “Ia hanya sedang diangkat ke langit, seperti Musa. Ia akan kembali tidak lama lagi.”
“Tenang, Umar” kata Abu Bakar, melangkah ke bagian depan masjid. “Tenanglah!” Tetapi, Umar tidak bisa diam. Dengan suara keras ia mengingatkan mereka yang menerima kematian Muhammad bahwa mereka akan terpotong tangan dan kakinya lantaran tidak setia ketika Nabi kembali dari langit.
Akhirnya, Abu Bakar tidak sabar lagi. Ia mengangkat tangannya di depan jamaah dan meneriaki Umar, “Wahai manusia, jika kalian menyembah Muhammad, Muhammad telah mati. Jika kalian menyembah Allah, Allah hidup dan abadi!”. Ketika Umar mendengar kata-kata ini,  ia jatuh ke lantai dan menangis[6]
Nabi Muhammad tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Nabi tidak membuat pernyataan formal tentang siapa yang akan menggantikannya sebagai pemimpin umat Tampaknya beliau menyerahkan persoalan teresebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat, belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajiirin dan Anshar berkumpul di balaikota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarakan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu terjadi cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar sama-sama merasa berhak menjadi  pemimpin umat Islam. Ada tiga golongan yang bersaingan keras dalam musyawarah tersebut: Anshar, Muhajirin dan Bani Hasyim.
Kaum Anshar mencalonkan Sa’ad ibn Ubadah, sedang  Muhajirin mendesak Abu Bakar sebagai calon mereka karena ia dipandang paling layak menggantikan nabi. Dan di pihak lain terdapat kelompok orang yang menghendaki Ali ibn Abi Thalib. Situasi yang kritis ini hampir saja menyebabkan pertikaian di tubuh umat islam, namun berkat tindakan tegas dari tiga orang yaitu; Abu Bakar, Umar dan Abu Ubadah ibn Jarrah memaksa Abu Bakar sendiri sebagai pengganti nabi Muhammad saw. Dan dengan ukhuwah islamiah yang tinggi , akhirnya Abu Bakar terpilih.[7]
Selepas dibai’at, Abu Bakar berpidato di hadapan kaum muslimin. Isi pidatonya adalah :
“Wahai saudara-saudara sekalian, sesungguhnya aku adalah seperti kalian juga dan aku tidak sanggup memikul beban yang kalian letakkan di pundakku sebagaimana Rasulullah mampu memikulnya. Aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku melakukan kebaikan, maka dukunglah aku. Jika aku melakukan kesalahan, ingatkan aku. Sepanjang aku menaati Allah dan Nabi, taatilah aku. Jika aku menolak hukum Allah dan Nabi, aku tak punya hak atas ketaatan dari kalian[8].
c.         Kepemimpinan Abu Bakar
Khalifah Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M beliau meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri, terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian dengan Nabi Muhammad batal dengan sendirinya setelah nabi wafat. Karena itu, mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut perang Riddah[9]. Perang Riddah mencerminkan usaha sadar Abu Bakar untuk memelihara kesatuan orang-orang islam Arab di bawah bendera abadi Islam dan otoritas terpusat Madinah dan dengan begitu mencegah komunitas Muhammad dari mundur lagi ke sistem kesukuan kuno. Tetapi ini tidak harus disalahkan sebagai perang agama, kampanye itu dimaksudkan untuk memperkuat kembali kepentingan politik Madinah[10].
Tampaknya kekuasaan yang yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar sebagaimana pada masa Rasulullah bersifat sentral. Kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif berpusat di tangan khalifah. Selain roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga nabi Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah[11].
Selain memerangi kaum murtad, beliau juga sempat memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat dan nabi palsu. Beliau juga sempat melakukan ekspansi dengan menaklukan Persia di wilayah timur dan melakukan penyerangan ke Romawi di wilayah barat sehingga mampu menunjukkan kekuatan kaum muslimin.
Salah satu kerja besar dan merupakan peninggalan bersejarah masa pemerintahan khalifah Abu Bakar adalah penghimpunan dan kodifikasi al-Quran. Melihat banyaknya sahabat huffazh yang gugur dalam perang Yamamah mendorong Umar untuk mengusulkan penghimpunan al-Quran ini pada khalifah Abu Bakar. Hal ini demi menjaga kelestarian al-Quran karena dikhawatirkan al-Quran akan hilang seiring gugurnya para sahabat di medan perang. Meskipun pada awalnya sempat ragu karena pembukuan al-Quran tidak ada dan tidak diperintahkan pada zaman Nabi dan tidak mau disamakan dengan kaum yang kitabnya hanya di tulisan saja, pada akhirnya proyek pembukuan al-Quran ini untuk pertama kalinya terealisasi pada masa khalifah Abu Bakar.
d.        Berakhirnya Masa Kekhalifahan Abu Bakar as-Shiddiq
Tatkala Abu Bakar merasa bahwa kematiannya telah dekat dan sakitnya semakin parah, dia ingin memberikan kekhalifahannya kepada seseorang sehingga diharapkan orang-orang tidak terlibat konflik. Sewaktu masih terbaring sakit, Abu Bakar secara diam-diam melakukan tinjauan terhadap tokoh-tokoh terkemuka dikalangan sahabat mengenai pribadi yang layak untuk menggantikannya.
Khalifah Abu Bakar meninggal pada hari Senin, 23 Agustus 624 M setelah kurang lebih 15 hari berbaring di tempat tidur. Beliau wafat pada usia 63 tahun dan kekhalifahannya berlangsung selama 2 tahun 3 bulan 11 hari[12]. Dengan wafatnya Abu Bakar, maka berakhirlah masa kepemimpinannya. Kepemimpinan selanjutnya beralih pada tokoh yang ditunjuk olehnya untuk meneruskan kekhalifahan.
2.      Umar ibn Khaththab (634-644 M)
a.      Biografi Umar ibn Khaththab
Beliau adalah Umar ibn al-Khaththab ibn Nufail ibn Adi ibn Abdul Uzza ibn Riyah ibn Abdullah ibn Qurth ibn Razah ibn Adi ibn Ka’ab ibn Lu’ai, Abu Hafs al-Adawi[13].
Umar masuk islam ketika berusia dua puluh tujuh tahun. Beliau masuk islam karena tersentuh hatinya tatkala mendengar lantunan ayat al-Quran yang dibaca oleh adiknya. Masuknya Umar ke dalam agama islam ini adalah bentuk dari terkabulnya doa nabi yang menginginkan kekuatan islam dengan masuknya Umar.
b.      Pengangkatan Umar ibn Khaththab sebagai Khalifah
Tatkala Abu Bakar merasa bahwa kematiannya telah dekat dan sakitnya semakin parah, dia ingin memberikan kekhalifahannya kepada seseorang sehingga diharapkan orang-orang tidak terlibat konflik[14]. Saat itu timbul kecemasan apabila ia tidak menunjuk orang yang akan menggantikan jabatannya. Profil yang akan mengantikannya hendaknya orang yang tegas tetapi tidak kejam, ramah tetapi tidak lemah. Menurut pandangan Abu Bakar orang seperti itulah yang mampu memelihara persatuan umat islam dan membendung ancaman dari luar[15].
Menurut pandangan Abu Bakar orang yang memiliki kriteria seperti itu adalah Umar ibn Khaththab dan Ali ibn Abi Thalib. Tetapi Abu Bakar cenderung memilih Umar ibn Khaththab. Alasannya, mungkin sekali, di samping pandangannya tersebut, Umar adalah sahabat yang terdekat dengannya selama menduduki jabatan khalifah dan ikut andil dalam pengangkatannya menjadi khalifah pada peristiwa Saqifah Bani Sa’idah[16].
Alasan lain seperti yang diungkapkan oleh Reza Aslan adalah karena Abu Bakar menolak tradisi kesukuan dan bahwa apabila mempertahankan kepemimpinan bedasarkan keturunan dalam ahlul bait  bisa mengaburkan pembedaan antara otoritas religius Nabi dan otoritas religius Khalifah[17].
Tetapi Abu Bakar tidak bertindak otoriter. Sekali lagi, beliau mempertahankan saran-saran dan pendapat dari tokoh-tokoh sahabat lain, baik dari kalngan Muhajirin maupun Anshar. Sebelum mengambil keputusan, Abu Bakar meminta pendapat Abdurahman ibn Auf, Utsman ibn Affan, Said ibn Zaid dan lain-lain. Dari hasil pengumpulan pendapat itu diketahui bahwa pada umumnya tokoh-tokoh sahabat menyetujui penunjukan Umar ibn Khaththab sebagai calon pengganti khalifah Abu Bakar. Oleh karena itu Abu Bakar secara resmi membuat surat pengangkatan Umar ibn Khaththab sebagai orang yang akan menduduki jabatan khalifah apabila Abu Bakar wafat.
Di antara isi surat pengangkatan tersebut berbunyi [18]:
“Dengan nama Allah yang Mahapengasih dan Penyayang. Ini pernyataan Abu Bakar ibn Quhafah pada akhir hayatnya di dunia yang akan ditinggalkan dan awal masanya ke akhirat yang akan ditujunya. Sesungguhnya saya telah mengangkat Umar ibn Khaththab menjadi khalifah untukmu. Apabila ia berlaku adil, maka itulah alasan saya dan harapan saya padanya. Tetapi bila ia berubah dan beralih sikap, maka yang saya kehendaki hanyalah kebaikan dan saya tidak mengetahui sesuatu yang belum terjadi.”
Beberapa lama setelah penunjukan tersebut, Abu Bakar wafat dan dan Umar ibn Khaththab langsung menjadi khalifah. Pada waktu itu usia Umar sekitar 52 tahun.
c.       Kepemimpinan Umar ibn Khaththab
Di zaman Umar gelombang ekspansi pertama terjadi. Ibu kota Syiria, Damaskus, jatuh pada tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Byzantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh Syiria jatuh di bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syiria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan Amr ibn Ash dan ke Iraq di bawah pimpinan Sa’ad ibn Abi Waqqash. Iskandaria, ibu kota mesir ditaklukan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh di bawah kekuasaan islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan islamsudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, sebagian besar Persia dan Mesir[19].
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi : Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir. Beberapa Departemen yang dipandang perlu didirikan. Pengadilan didirikan untuk memisahkan lembaga eksekutif dan yudikatif, mendirikan Baitul Mal, mencetak mata uang dan menggagas tahun Hijriyyah.
Ada beberapa tidakan progressif yang dilakukan Umar, diantaranya Umar pernah tidak membagikan harta rampasan perang yang 4/5 kepada para prajurit yang ikut berperang pada saat penaklukan Syiria dan Iraq, tetapi diganti dengan menggaji mereka. Alasan beliau dapat dipahami dari pernyataannya [20]:
“Demi Allah tidak akan ada lagi negeri yang dibebaskan sesudahku yang di situ terdapat kekayaan besar, bahkan akan menjadi bebas atas orang-orang muslim. Jika aku bagi-bagikan tanah-tanah di Iraq beserta garapannya, tanah-tanah Syiria beserta garapannya, maka dengan apa pos-pos pertahanan akan dibiayai? Dan apa yang akan tersisa untuk anak cucu dan janda-janda di negeri itu dan di tempat lain di kalangan penduduk negeri Syiria dan Iraq?”
Dengan tindakan ini Umar telah berusaha menyelamatkan kekayaan negara untuk  kepentingan negara dan sekaligus untuk kepentingan islam dan umatnya yang akan terus meneruskan perjuangan islam yang telah dibina selama ini.
Dalam kasus lain, Umar pernah tidak melaksanakan hukuman potong tangan di saat masyarakat Islam sedang mengalami musibah kekeringan, kekurangan persediaan makanan dan bahaya kelaparan. Demikian beberapa hal yang bisa diulas dalam kepemimpinan Umar.
d.      Berakhirnya Masa Kekhalifahan Umar ibn Khaththab
Khalifah Umar telah memerintah selama 10 tahun 6 bulan (13-13 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematiannya yang tragis, yaitu seorang budak Persia bernama Fairuz atau yang dikenal dengan Abu Lu’luah secar tiba-tiba menyerang dari belakang, ketika Umar hendak berjamaah shalat subuh di Masjid Nabawi. Umar meninggal pada tanggal 25 Dzulhijjah 23 H[21]. Dengan demikian, berakhir sudah masa pemerintahannya. Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh orang yang terpilih dari beberapa tokoh yang ditunjuk untuk menjadi calon penggantinya.
3.      Utsman ibn Affan (644-656 M)
a.      Biografi Utsman ibn Affan
Nama beliau adalah Utsman ibn Affan ibn Abil Ash ibn Umayyah ibn Abdusy Syams ibn Abdi Manaf ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ai ibn Ghalib ibn Fihr ibn Malik ibn an-Nadhir ibn Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah ibn Ilyasibn Mudhar ibn Nizar ibn Ma’ad ibn Adnan. Utsman ibn Affan masuk islam melalui dakwah Abu Bakar as-Shiddiq[22]. Beliau dikenal sebagai pedagang yang dermawan dan murah hati. Beliau adalah orang terkaya pada masa sebelum dan sesudah islam. Beliau merupakan donatur bagi setiap perjuangan islam.
b.      Pengangkatan Utsman ibn Affan sebagai Khaliafah
Di ranjang kematiannya, Umar mengumpulkan enam kandidat utama bagi Khalifah dan memberi mereka tiga hari untuk memutuskan di antara mereka siapa yang akan memimpin umat stelah kematiannya. Mereka adalah Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Zubair ibn Awwam, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn Auf, Thalhah ibn Ubaidillah. Tak lama kemudian hanya tersisa dua buah nama, Ali ibn Abi Thalib dan seseorang yang biasa-biasa saja berusia 70 tahun bernama Utsman ibn Affan[23].
Sebagai anggota kaya klan Umayyah – klan musuh kuat Muhammad, Abu Sufyan dan Hindun – Utsman adalah orang Quraysh tulen. Walaupun dia termasuk golongan as-sabiqun al-awwalun, ia tidak pernah menunjukkan kualitas kepemimpinan apapun, ia seorang pedagang, bukan tentara. Muhammad mencintai Utsman tetapi tidak pernah mempercayakan kepadanya untuk memimpin pembersihan atau pasukan tentara, sesuatru yang hampir pernah dilakuakan lebih dari sekali oleh setiap salah satu calon lain. Namun persisnya tidak adanya pengalaman dan tidak adanya ambisi pada dirinyalah yang menjadikan Utsman sebagai pilihan menarik. Ia, lebih dari semua yang lain adalah alternatif terbaik bagi Ali, orang tua yang bijaksana dan bisa dipercaya tidak akan merusak situasi.
Akhirnya, Ali dan Utsman disodori masing-masing dua pertanyaan oleh Abdurrahman. Pertama, apakah masing-masing akan memimpin sesuai dengan prinsip-prinsip al-Quran dan teladan Rasulullah? Keduanya menjawab, Ya!. Pertanyaan kedua sungguh tak terduga. Apakah masing-masing, jika terpilih sebagi khalifah akan mengikuti perseden yang telah dilakukan oleh dua khalifah sebelumnya, Abu Bakar dan Umar?
Pertanyaan ini bukan hanya persyaratan yang belum pernah ada sebelumnya untuk memimpin umat, melainkan juga jelas-jelas dimaksudkan untuk menyingkirkan seorang kandidat. Karena ketika Utsman menegaskan bahwa ia akan mengikuti semua teladan para pendahulunya dalam semua keputusannya sebagi khalifah, Ali memberikan tatapan mata tajam kepada semua orang yang ada di ruangan itu dan menjawab dengan tegas, “Tidak!”. Ia hanya akan mengikuti Allah dan keputusan-keputusannya sendiri.
Jawaban Ali mengunci ketukan palu keputusan. Utsman menjadi khalifah ketiga, dan pada tahun 644 M sangat didukung oleh umat[24].
c.       Pemerintahan Utsman ibn Affan
Pemerintahan Utsman berlangsung selama 12 tahun. Pada paroh terakhir masa kekhalifahannya, muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena usianya yang lanjut, diangkat pada usia 70 tahun[25].
Salah satu faktor yang menyebabkan rakyat kecewa terhadap kepemimpinannya adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarganya dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang gelar khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya duduk dalam jabatan-jabatan penting, Utsman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu.dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya sendiri dibagikan tanpa kontrol oleh Utsman sendiri.
Meskipun demikan, tidak berarti bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan penting. Utsman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas Masjid Nabawi di Madinah. Beliau jugalah yang mencetuskan unifikasi al-Quran dengan menyalinnya menjadi sebuah mushaf yang sampai sekarang dikenal dengan Mushaf Utsmani[26].
Di masa pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi islam pertama berhenti sampai di sini.
d.      Terjadinya Fitnah dan Terbunuhnya Utsman
Tindakan Utsman yang dipandang nepotis tampaknya menimbulkan ketidakpuasan oelh sebagian kelompok muslim. Agitasi terhadap Utsman mencapai puncaknya pada tahun 655 M dengan pemberontakan yang pecah di seluruh kawasan muslim menentang ketidakmampuan khalifah dan para amir yang sering korup. Situasi menjadi begitu menakutkan ketika sejumlah sahabat terkemuka dari Mekah berkumpul untuk meminta khalifah supaya mencopot para gubernurya yang korup, menghentikan nepotismenya dan meminta maaf kepada semua komunitas. Tetapi, anggota klannya sendiri dan khususnya sepupunya yang berpengaruh dan lapar kekuasaan yaitu Marwan, menekan Utsman untuk tidak tampak lemah dengan mengakkui kesalahan sendiri.
Segala sesuatunya tiba pada ujung menyedihkan bagi Utsman, setahun kemudian, ketika delegasi besar-besaran dari Mesir, Basrah dan Kufah berbondong-bondong menuju Madinah untuk menyampaikan kekecewaannya langsung kepada khalifah. Walaupun menolak untuk menerima delegasi itu secara pribadi, Utsman mengirim Ali untuk meminta mereka kembali ke rumah mereka dengan janji kekecewaan mereka akan diperhatikan.
Apa yang terjaid selanjutnya tidaklah jelas. Sumber-sumber campur aduk dan bertentangan. Agaknya, dalam perjalanan pulang mereka, delegasi Mesir menangkap seorang utusan yang membawa surat resmi yang memerintahkan hukuman segera kepada para pimpinan pemeberontakana atas pembangkangan mereka. Surat itu ditandatangani oleh Khalifah. Geram, delegasi itu memutar arah dan kembali ke Madinah, mereka mengepung rumah Utsman.
Para pemberontak terprovokasi oleh keributan di luar rumah Utsman, menyerang ruang dalam Khalifah, tempat mereka menemukannnya duduk di atas bantal sedang membaca al-Quran. Mereka sekali lagi mendesak Utsman untuk mengundurkan diri. Ketika Utsman menolak, maka salah satu dari mereka mengangkat pedang dan menebaskannya ke dada Utsman, dan saat itu juga Utsman gugur di atas a-Qurannya yang masih terbuka dan darahna mengalir membasahi al-Quran tersebut[27].
Belum jelas siapa yang membunuh Utsman. Ahli sejarah juga yakin bahwa Utsman tidaklah menulis surat tersebut. Utsman gugur pada hari Jumat tanggal 17 Dzulhijjah 35 H/ 655 M[28]. Dengan demikian, berakhirlah masa kekhalifahan Utsman ibn Affan.
4.      Ali ibn Abi Thalib (656-661 M)
a.      Biografi Ali ibn Abi Thalib
Nama lengkap beliau adalah Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muththalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf ibn Qushayi ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ai ibn Ghalib ibn Fihr ibn Malik ibn an-Nadhir ibn Kinanah[29]. Beliau adalah sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW.
Ali ibn Abi Thalib masuk islam saat beliau berumur tujuh tahun, ada yang mengatakan delapan tahun dan ada pula yang mengatakan sepuluh tahun. Tetapi yang jelas, beliau adalah orang yang pertma kali masuk islam dari golongan anak-anak. Saat Rasulullah akan hijrah, beliaulah yang menggantikan posisi Rasulullah di tempat tidur untuk mengelabui kaum kuffar.
Beliau adalah orang yang mentajhiz (mengurus) jenazah nabi Muhammad SAW, di saat umat islam yang lain sedang bermusyawarah menentukan pemimpin pengganti nabi.
b.      Pengangkatan Ali sebagai Khalifah
Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai Khalifah. Para sahabat mendesaknya agar bisa keluar dari kemelut yang menimpa mereka. Kondisi saat itu telah mengalami kekacauan dan orang-orang pemberontak telah menguasai kondisi lapangan. Walaupun pada awalnya menolak, akhirnya, beliau mau menerimanya, setelah Zubair ibn Awwam dan Thalhah ibn Ubaidillah memaksa beliau dan membaiatnya[30].
c.       Kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib
 Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara dzalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran berkobar.perang ini dinamakan perang Jamal (unta) karena Aisyah menggunakan unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan perlawanan dari gubernur Damaskus, Muawiyah, yang didukung sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memedamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar pasukan tentara. Pertempuran ini dinamakan pertempuran Shiffin, karena pasukan Ali dan Muawiyah bertemu di Shiffin.
Perang ini berakhir dengan tahkim (arbitrase), saat pasukan Muawiyah terdesak, mereka melakukan tindakan mengangkat mushaf al-Quran sebagai tanda perdamaian. Ali menerima permintaan damai ini. Tetapi tahkim ini ternyata tidak menyelesaikan masalah, tetapi bahkan memunculkan golongan yang tidak puas dengan tindakan Ali yaitu Khawarij. Akibatnya umat islam terpecahmenjadi tiga kekuatan politik yaitu Syiah Muawiyah, Syiah Ali dan Khawarij. Kemunculan kaum Khawarij menyebabkan tentara Ali melemah sementara poisisi Muawiyah semakin kuat.
Pada puncaknya, Ali terbunuh pada saat dia aka melaksanakan shalat subuh. Ali dibunuh oleh salah seorang Khawarij yang bernama Abdurrahman ibn Muljam. Sebenarnya sasaran pembunuhan tidak hanya Ali, Muawiyah dan Amr ibn Ash juga akan menjadi sasaran pembunuhan. Namun hanya Ali saja yang berhasil terbunuh.
Ali meninggal pada tangal 20 Ramadhan 40 H. Meninggalnya Ali, berarti berakhir sudah masa kepemimpinannya. Berakhirnya kepemimpinan Ali juga berarti berakhir sudah masa kepemimpinan Khulafa ar-Rasyidin. Sepeninggal Ali, kepemimpinan sempat dipegang oleh puteranya Hasan. Namun, tak beberapa lama Hasan membuat perjanjian dengan Muawiyah dan menyerahkan kekuasaan kepadanya. Setelah berakhirnya masa Khulafa ar-Rasyidin, kepemimpinan beralih menjadi dinasti Umayah yang bersifat monarchi.
  1. Beberapa Kebijakan yang Muncul pada Masa Khulafa’ ar-Rasyidin
1.      Memerangi Kaum Riddah
Abu Bakar dihadapkan pada keadaan, masyarakat sepeninggalnya Muhammad SAW. Ia menghadapi kesulitan kesulitan yang memuncak.  Dengan ketegasan Abu Bakar ini disambut dan didukung oleh hampir seluruh kaum muslimin, untuk memerangi kemurtadan (nadah) ini.
2.      Pengelolaan Kas Negara
Pada Masa Abu Bakar kekuasaan bersifat sentral (eksekutif, legislatif, yudikatif, terpusat pada pimpinan tertinggi). Pada masa Umar lembaga yudikatif dipisahkan dengan didirikannya lembaga pengadilan, bahkan di daerah-daerah).Masa pemerintahan Umar mulai diatur dan ditertibkan tentang pembayaran gaji dan pajak tanah. Untuk mengelola keuangan negara didirikan Baitul Mal. Mulai saat ini pemerintahan Umar sudah menempa mata uang sendiri. Seluruh kebijakan yang dilaksanakan, pada hakekatnya merupakan upaya mengkonsoldasikan bangsa arab dan melebur suku-suku arab kedalam satu suku bangsa. Pemerintahan Usman mengalami masa kemakmuran dan berhasil dalam beberapa tahun pertama permerintahanya. Ia melanjutkan kebijakan-kebijakan khalifah Umar.
Pada separuh terakhir masa pemerintahannya, muncul kekecewaan dan ketidakpuasan di kalangan mayarakat karena ia mulai mengambil kebijakan yang berbeda dari sebelumnya. Usman  mengangkat keluarganya (Bani Umayah) pada kedudukan yang tinggi. Sebagai khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib meneruskan cita-cita Abu Bakar dan Umar. Ia mengikuti dengan tepat prinsip-prinsip Baitul Mal dan memutuskan untuk mengembalikan semua tanah yang diambil alih oleh Bani Umayah ke dalam perbendaraan negara. Demikian hibah atau pemberian Usman kepada siapapun yang tiada beralasan, diambil kembali. Ali kemudian bertekad unruk mengganti semua gubernur yang tidak disenangi rakyat, tetapi Mua’wiyah, gubenur syria, menolaknya. Oleh karenanya khalifah Ali harus menghadapi kesulitan dengan Bani Ummayah.
3.      Penataan Birokrasi Pemerintahan
Pengembangan sistem birokrasi pemerintahan ini berdasarkan pada pemikiran para khalifah, khususnya Umar bin Khatab, yang berhasil memadukan sistem yang ada di daerah perluasan dengan kebutuhan masyarakat yang sudah mulai berkembang pada saat itu.
4.      Perluasan dan Pengelolaan Wilayah
Satu keterkaitan antara perluasan dan pengelolaan wilayah dengan masuk Islamnya penduduk di wilayah-wilayah tersebut adalah sikap toleransi dari kaum muslimin dan mereka mendapatkan perlakuan yang baik. Mereka hidup lebih aman dan damai di bawah perlindungan pemerintahan Islam, sehingga mereka masuk Islam dengan kemauan sendiri tanpa adanya paksaan dari kaum muslimin.
5.      Sistem Nepotisme
Pergantian Umar dan Usman dapat diartikan pergantian keradilan dan kekerasan dengan kelonggaran, kelemahan dan sikap ragu-ragu. Akibatnya banyak kaum muslimin yang meninggalkan Usman, yang berarti hilangnya kawan-kawan dan oarang-orang tempat nya ia menumpahkan kepercayaan, kecuali kerabatnya. Oleh sebab itu banyak pejabat dipecat dan digantikan oleh senak kerabatnya. Pada masa itulah oleh lawan-lawan politiknya ia dituduh melakukan nepotisme (sistem family).

  1. Perkembangan Peradaban Islam.
  1. Pembukuan Al-Qur’an
Setelah Rasulullah wafat dan Abu Bakar menjadi khalifah, terjadi perang Yammah yang merenggut korban kurang lebih 70 sahabat penghafal Al-Qur’an. Banyaknya sahabat yang gugur dalam peristiwa tersebut, timbul kekawatiran di kalangan sahabat khususnya Umar bin Khathab, akan menyebabkan hilangnya Al-Qur’an. Awalnya Abu Bakar keberatan karena hal itu tidak dilakukan oleh Rasul. Umar menyarankan kepada Abu Bakar agar menghimpun surat-surat dan ayat-ayat yang masih berserakan kedalam satu mushaf. Akhirnya Abu Bakar menyutujuinya. Ketika Umar menjadi khalifah, mushaf itu berada dalam pengawasannya. Sepeninggal Umar, mushaf tersebut disimpan di rumah Hafsah binti Umar, isteri Rasul SAW. Dimasa Usman bin Affan, timbul perbedaan cara membaca Al Qur’an dikalangan umat islam. Untuk itu Usman membentuk suatu panitia yang di ketuai oleh Zaid bin Tsabit. Setelah selesai mushaf dikembalikan kepada Hafsah, Zaid membuat salinan sejumlah 6 buah. Khalifah menyuruh agar salinan tersebut di kirim kebeberapa wilayah islam.
  1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Pada masa permulaaan islam, para sahabat yang utama baik dalam kedudukannya sebagai pejabat maupun dengan sukarela, berangkat ketempat-tempat pemukiman baru dan kota-kota lainya untuk mengajarkan agama islam kepada penduduk setempat. Di tempat-tempat baru itu mereka berhadapan dengan berbagai masalah, Pemecahan masalah-masalah tersebut merupakan cikal bakal bagi lahirnya ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang agama.
  1. Perkembangan Arsitektur
Arsitektur dalam islam di mulai tumbuhnya dari masjid. Salah satunya masjid yang dibangun dan diperbaiki pada masa khulafaur rosyidin yaitu;
a.    Masjid al-Haram, khalifah Umar mulai memperluas masjid yang pada masa Rasulullah masih amat sederhana, dengan membeli tembok rumah rumah di sekitarnya. Pada masa Usman (26H). Masjid al Haram di perluas.
b.      Masjid Madinah (Nabawi), Khalifah Umar mulai memperluas masjid ini (17H) bagian selatan ditamabah 5 meter dibuat mihrab, bagian barat di tamabah 5meter dan bagian utara ditambah 15 meter, pintu masuk menjadi 3 buah. Masa khalifah Usman, diperluas lagi dan diperindah dindingnya diganti dengan batu, bidang-bidang dinding dihiasi dengan berbagai ukiran. Tiang-tiangnya dibuat dari beton bertulang dan ditatah dengan ukiran, plafonnya dari kayu pilihan. Unsur estetisnya mulai diperhatikan.
  1. Penutup
Demikian tadi sejarah singkat mengenai masa kekhalifahan Khulafa ar-Rasyidin. Masa pemerintahan selama kurang lebih 30 tahun itu kiranya patut dijadikan contoh untuk para pemimpin masa sekarang. Ketegasan Abu Bakar, pemikiran progressif Umar, kedermawanan Utsman dan sikap bijaksana Ali tentunya bisa menjadi teladan bagi kita.
Mengenai konflik yang sering terjadi pada masa itu, kita hendaknya bersikap dewasa, bahwa sesungguhnya konflik adalah sunnatullah dan bagaimana kita menghadapinya dengan kepala dingin. Terlepas dari konflik dan beberapa hal yang terjadi pada masa Khulafa ar-Rasyidin, kita sadar bahwa mereka adalah para sahabat nabi, mereka adalah orang terkasih nabi, mereka bagaikan bintang yang dapat menunjukkan arah pada saat kegelapan.
Makalah ini jauh dari kesempurnaan. Sebagai manusia, kami sadar bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini kecuali Dzat-Nya. Kami mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan demi terwujudnya lingkungan akademis yang hidup. Wallahu a’lam bis Shawab.


Daftar Pustaka
Al-Usairy, Ahmad Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, terj. Jakarta : Akbar Media, 2008
Aslan, Reza, Rahasia Syahadat, Asal-usul, Evolusi dan Masa Depan Islam, terj. Sajadah Press, 2008
As-suyuthi, Jalal ad-Din,  Tarikh al-Khulafa’, Dar-al-Fikr, Beirut t.th
As-Sulaimi, Muhammad, Al-Bidayah wan Nihayah, terj. Jakarta : Darul Haq, 2005
Qaradhawi, Muhammad Yusuf, Hayat ash-Sahabat, Mustafa Ahmad Al-Bazz. Makkah, 1992
Syukur, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009
Sholikhin, M, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : Rasail, 2005
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo, 2008



[1] Dalam riwayat lain dikatakan bahwa nabi bersabda: فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين . lihat Muhammad Yusuf Qordhawi, Hayat ash-Sahabat, Mustafa Ahmad Al-Bazz. Makkah, 1992,j.hlm.20.
[2] Jalal al-Din as-suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, Dar-al-Fikr, Beirut t.th, hlm.11
[3] Ibid.
[4] Muhammad as-Sulaimi, Al-Bidayah wan Nihayah, terj. Jakarta : Darul Haq, 2005 hlm. 13
[5] Reza Aslan, Rahasia Syahadat, Asal-usul, Evolusi dan Masa Depan Islam, terj. Sajadah Press, 2008. hlm. 200
[6] Ibid
[7] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm.50
[8] Reza Aslan, Op.cit. hlm 213
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo, 2008. hlm. 36
[10] Reza Aslan, op.cit. hlm 214
[11] Badri Yatim,op.cit. hlm 36
[12] Fatah Syukur, op.cit. hlm. 52
[13] Muhammad as-Sulaimi, op.cit. hlm 168
[14] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, terj. Jakarta : Akbar Media, 2008. hlm. 150
[15] M. Sholikhin, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : Rasail, 2005. hlm. 9
[16] Ibid
[17] Reza Aslan, op.cit. hlm 212
[18] M. Sholikhin, op.cit. hlm 10
[19] Badri Yatim, op.cit. hlm. 37
[20] M. Sholikhin, op.cit. hlm 17
[21] Fatah Syukur, op.cit. hlm 54
[22] Muhammad as-Sulaimi, op.cit. hlm 319
[23] Reza Aslan, op.cit. 221
[24] Op.cit 221-222
[25] Badri Yatim, op.cit. hlm 38
[26] Op.cit
[27] Reza Aslan, op.cit. hlm 226-227
[28] Fatath Sykur, op.cit. hlm. 57
[29] Muhammad as-Sulaimi, op.cit. hlm. 415
[30] Badri Yatim, op.cit. hlm 39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar